Rabu, 24 September 2008

5 Aturan Pikiran




Penulis : Mary T. Browne
Tebal : (i-xi) dan 266 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama (2008)


Ucapan dan perbuatan merupakan realisasi dari pikiran. Contoh sederhana, ketika benakmu merasa haus, maka kamu segera melakukan perbuatan menuangkan air ke dalam gelas lalu meminum cairan yang ada di dalam.

Kalau kamu mengatakan, ”Hari ini menyebalkan sekali bagiku!”, maka yang terjadi benar-benar rangkaian peristiwa menyebalkan dalam sehari. Apakah kamu memang dikutuk pada hari tersebut? Sebenarnya karena otak kamu sudah ’mencap’ bahwa hari ini adalah hari sial maka rangkaian kejadian selama hampir 24 jam sebagai sesuatu yang memang BAD.

Dalam gambaran besar, pikiran menuntun kita untuk mencapai sesuatu dalam kehidupan.
Pikiran adalah getaran dan energi. Kita adalah apa yang kita pikirkan. Oleh karenanya, kita memperoleh apa yang kita inginkan dengan mengendalikan pikiran kita.

Mary T. Browne, cenayang terkenal asal New York, menyusun 5 Aturan Pikiran –sebagai hasil pengalaman dirinya sebagai penasehat spiritual dan pembelajaran dari para maestro- yang bisa membantu kita untuk memperoleh apa yang kita inginkan. Kelima aturan itu memang lebih mudah diikuti jika kita lebih dahulu memahami dan sadar akan kekuatan Daya Ilahi.

Ke-5 Aturan Pikiran untuk memperoleh apa yang kita inginkan :
1. Kita harus menentukan apa yang kita inginkan
2. Bayangkan bahwa hal itu sudah terjadi
3. Jangan ragu-ragu
4. Kita harus mempunyai keyakinan
5. Ketekunan membawa hasil

Perasaan bimbang (ragu-ragu) adalah kendala terberat dalam proses meraih hasil. Sukses hanya diraih oleh mereka yang tegas. Tegas dalam arti tidak meragukan diri sendiri, dan fokus pada tujuan akhir.

Selain menghilangkan rasa ragu, pemusatan pikiran bisa dilatih. Melalui meditasi, kontemplasi dan mau meluangkan waktu beberapa menit setiap hari, untuk membuat gambaran yang kita inginkan di dalam benak kita.

Bagi yang pernah baca The Secret, nama Mary T. Browne terasa familiar karena memang Browne merupakan salah satu kontributor. Sehingga ide buku antara ”The Secret” vs ”5 Aturan Pikiran” memang terasa relevan.

Ketika kamu percaya akan law of attraction : dimana pikiran positif dan keinginan akan bekerja, sehingga semesta membantumu merealisasikan keinginan. Nah! Upaya fokus untuk mengarahkan pikiran (keinginan) itu bisa terbantu melalui buku ini. Walaupun (saya akui secara pribadi) butuh konsentrasi lebih untuk memahami ide yang dituang dalam buku setebal 266 halaman ini.

Di dalam buku yang terbagi atas 7 bab ini, Browne menyisipkan contoh kasus dari pengalaman pasien yang berkonsultasi padanya, demi kemudahan pembaca mencerna fokus tulisan.

Senin, 22 September 2008

Shahnameh – Hikayat Persia


Oleh : Ferdowsi
Tebal : 328 halaman
Penerbit : Navila (2002)


Di suatu akhir pekan di awal Ramadan 1429 H, saya membongkar tumpukan novel dan majalah pada rak buku. Saya menimang-nimang buku bersampul warna paduan coklat pucat dan oranye pupus yang menampilkan gambaran khas suasana Timur Tengah. Kemudian saya membuka halaman pertama, tergores nama saya (sebagai pemilik) dan 5 Agustus 2002 sebagai tahun pembelian.

Itu artinya buku ”Shahnameh – Hikayat Persia” ini telah berusia 6 tahun di tangan saya. Saya membelinya di stan Kedutaan Besar Iran di suatu pameran (lupa nama pamerannya).

Saya selalu tertarik dengan buku non fiksi berbau sejarah, khususnya budaya Mesir dan jazirah Arab Sebelum Masehi. Namun, ketertarikan itu tidak cukup kuat untuk segera melahap buku setebal 328 halaman itu sesegera mungkin. Sejumlah alasan membuat saya menunda baca itu. Kesibukan kerja, aktivitas diri, serta buku baru dan majalah yang terus berdatangan mengisi hari saya, menjadi alasan. Selain itu, anggapan ”isi buku pasti berat” sudah membuat saya menunda.

Hanya saja, sesuai niatan untuk menunggu bedug dengan membaca buku -khususnya membuka buku-buku yang sudah terlanjur beli namun belum pernah dibaca selama bulan puasa tahun ini- maka Minggu (6/9)usai Imsak, saya paksakan pula untuk membaca buku ini.

Dan ternyata, wow! Tidak seperti dugaan bahwa isi bacaan berat yang kaya sejarah dan peristiwa, saya justru dilarutkan dalam dunia dongeng 1001 malam dengan membaca kisah raja-raja Iran atau bangsa Persia. Cerita terbagi atas Bab yang memisahkan kisah antara raja (atau tokoh penting dalam perjalanan kerajaan) yang satu dengan yang lain. Cerita dimulai dari Kaiumer I sebagai Shah di Kerajaan Persia. Ia diibaratkan sebagai sang penguasa dunia, yang membangun tempat tinggal di gunung, memakai pakaian dari kulit harimau seperti begitu pula rakyatnya.

Anak manusia yang dilindungi oleh Ormurzd (sebutan Tuhan) dan segala kelimpahannya, mengundang sirik dari setan (Ahriman) yang senantiasa memberi cobaan melalui putranya yang berjuluk Deev. Masa gelap pun hadir melalui Raja Zohak dari jazirah Arab yang dibantu oleh Deev. Penguasa berjuluk Raja Ular –karena memberi korban manusia setiap hari untuk dimakan ular raksasa – bisa dikalahkan oleh Feridoun yang mengasingkannya ke Gunung Demawend.

Intrik di kerajaan Persia dengan raja tertinggi berjuluk Shah, mulai tersemai ketika Feridoun memiliki 3 putra yaitu Silim si sulung, Tur si anak tengah, dan Irij si bungsu.

Suatu hari Feridoun ingin menguji ketiga anaknya dengan menyuruh mereka bertarung melawan naga.

Silim yang dalam pertarungan melawan naga, terbukti adalah si orang yang mencari aman dengan membalikkan badan pergi meninggalkan sang naga. Ia membiarkan adik-adiknya bertarung melawan naga.

Tur yang berarti ”pemberani”, memang membuktikan nyali melawan naga. Akan tetapi, Irij tampil sebagai pria bijaksana sekaligus pemberani.

Feridoun kemudian membagi wilayah kekuasaannya menjadi tiga bagian secara adil kepada putranya. Silim memperoleh Rhoum (Kaver) daerah tempat terbenamnya matahari; Turan atau Turkestan diberikan kepada Tur (sebagai penguasa Turki dan Cina); lalu Feridoun memberikan Iran kepada Irij.

Meski ketiganya menjadi raja makmur di negara masing-masing, bisikan setan berhasil menguasai Silim dan Tur. Keduanya bahu-membahu menyerang Iran dan membunuh adik bungsunya. Dari pertikaian bak kisah putra Adam-Hawa, dimana Kain membunuh adik kandungnya sendiri (Habil), maka dinasti Iran pun tak lepas dari balas dendam, perebutan kekuasaan, dan kematian. Ada pula kisah cinta, cemburu, tipu daya, termasuk ilmu sihir. Para Shah percaya akan ramalan ahli nujum. Melihat nasib dan masa depan dari keturunan yang baru lahir.

Dan kisah sejarah permulaan Iran kuno tak bisa lepas dengan tidak mengisahkan kepahlawanan ksatria besar Persia, Rostam atau Rustem. Pehliva (ksatria?) turunan Zal putra Saum sang pahlawan dengan Rudabeh, setia membela Shah meskipun pada beberapa kasus peperangan terjadi akibat kebodohan dan ketamakan rajanya. Pada cerita penutup menjelaskan bagaimana Rustem mangkat.

Selain memang seputar silsilah raja Persia, Ferdowsi meletakkan sentralisasi cerita terpusat pada peperangan antara Iran vs Turan (negeri di Asia Tengah) dan suksesi kekuasaan Shah.

Ferdowsi atau bernama lengkap Hakim Abol Ghasem Ferdowsi Toosi (935-1020/1026 M) selama 35 tahun telah berhasil mengumpulkan sebanyak 60.000 syair pendek yang kemudian dituangkan dalam buku berjudul Shahnameh atau Shahnamah ”The Epic of Shahnameh Ferdowsi” (The Epic of Kings : Hero Tales of Ancient Persia). Shahnameh ini dipersembahkan Ferdowsi untuk kejayaan Sultan Mahmud dari Ghazna.

Shahnameh mengangkat Ferdowsi sebagai salah satu sastrawan terkemuka Persia, disejajarkan dengan penyair sufi terkenal Jalaluddin Rumi dan Sheikh Musli-uddin Sa’di Shirazi.

Buku yang diterbitkan oleh Navila, penerbit yang memiliki kepedulian terhadap sastra dan budaya Timur, terbagi dalam beberapa bab, dimana setiap bab menceritakan tentang seorang tokoh penting dalam kekaisaran Persia.

Hanya saja, saya menemukan beberapa kekurangan antara lain berupa pengertian. Misalkan pada halaman 108 : ..... ”Setelah makan dan minum sampai kenyang, Rustem mengambil lira dari kantong, ditaruhnya di meja, dan bernyanyi dengan riang”. Penerjemah/penerbit menjelaskan ”lira” sebagai ”sebutan untuk mata uang, satuan mata uang Italia”.

Nah, saya rasa tidak ada relevansinya. Apalagi pada masa itu Italia belum terbentuk dan satuan mata uang Lira belum dikenal. Saya rasa lebih tepat jika yang dimaksudkan ”lira” dalam tulisan tersebut adalah alat musik petik semacam kecapi.

Kekurangan lain dari buku ini adalah salah cetakan. Buku yang saya pegang memiliki halaman kosong di lembar 227 dan 238. Polos tanpa ada tulisan. Ini cukup menganggu dan sebagai pembaca jadi menebak-nebak cerita yang ada di bagian hilang itu, melalui lanjutan halaman berikutnya. Duh, kalau sudah 6 tahun berlalu, apakah saya masih bisa menghubungi penerbit untuk minta ganti buku?