Minggu, 07 Februari 2010

Rumah Dara


Pemain : Julie Estelle, Ario Bayu, Sigi Wimala, Shareefa Danish Sutradara : Timo Tjahjanto



Dalam dunia sinema dikenal istilah film-film bergenre Slasher, dimana tokoh antagonis bukan hantu, melainkan manusia yang mengalami gangguan jiwa seperti psikopat.

Sebut saja sebagai contoh adalah Halloween, My Bloody Valentine, Jason, atau Saw. Sudah pasti di film-film seperti ini mandi darah, teriak histeris korban, selain pisau, clurit, kapak hingga gergaji listrik sebagai senjata pembunuh bakal menjadi tontonan.

Tapi untuk film Indonesia, sepertinya genre slasher masih jarang atau bisa dikatakan belum ada.

Oke, alasan saya menonton ini karena penasaran ingin ‘menyaksikan’ film genre terror jiwa dalam citarasa film lokal. Alasan kedua, saya yang berniat marathon nonton dari satu studio ke studio lain ternyata salah lokasi. Niat utama mencari “Sherlock Holmes” yang memang sudah tidak gres lagi di bioskop.

Sudah baca jadwal dan lokasi bioskop, tapi ternyata saya salah membedakan antara Blok M Square vs Blok M Plaza. Kadung berada di depan loket….walaupun sempat bertanya dengan mbak penjaga tiket yang menjelaskan kesalahan saya...akhirnya menonton film berdurasi satu jam lebih ini.


Film Rumah Dara dibuka dengan pasangan suami istri Adjie (Ario Bayu) dan Astrid (Sigi Wimala) dan teman-temannya datang menemui Ladya (Julie Estelle) di tempat kerja.

Hubungan sepasang kakak beradik Adjie dan Ladya tak harmonis sejak kedua orangtua mereka meninggal kecelakaan. Ladya menyalahkan Adjie sebagai penyebab kecelakaan yang dialami oleh orangtua mereka, dan memilih bekerja sebagai pelayan bar ketimbang bergantung pada sang kakak.

Adjie pamit mau berangkat ke Australia untuk bekerja disana. Dan berharap Ladya mau menghentikan permusuhan, kuliah dan malam itu ikut mengantarkan sang kakak ke bandara. Total di dalam mobil berisi 6 orang bersama teman-teman Adjie.

Di tengah jalan, mereka bertemu wanita misterius Maya yang mengaku dirampok dan bingung pulang ke rumah. Maya mengatakan kebetulan rumahnya dilalui dalam perjalanan dari Bandung menuju Jakarta.

Tiba di rumah Maya, mereka berkenalan dengan sang ibu yang bernama Dara (Shareefa Daanish) dan dua kakak lelakinya.

“Rumahnya gaya old school banget,” lebih kurang demikian komentar teman yang diperankan oleh VJ Daniel. Tak hanya rumah bergaya kolonial yang di tengah hutan, perkataan seperti itu memang mewakili gaya keseluruhan keluarga dan rumah Dara. Penampilan ibu berbaju potong pinggang dilapis cardigans dan gelung cepol, saudara lelaki klimis pomade, radio transistor, dan alat pemutar film gaya dulu.

Sebagai ucapan terimakasih telah menolong sang putri, Dara mengajak para tamu untuk makan dulu sebelum melanjutkan perjalanan. Makan sambil bersantap anggur dan mengunyah hidangan yang menurut Ladya dan kawan-kawannya belum pernah mereka menyantap rasa daging seperti yang disuguhkan saat itu.

Belum habis makanan disantap, para tamu merasa pusing dan pingsan. Saat mereka tersadar, terjadi hal-hal yang tak mereka bayangkan sebelumnya.

Teror penyekapan, darah berceceran dimana-mana, jagal tubuh manusia, pisau hingga gergaji listrik menjadi sajian di dalam cerita. Sutradara pun tak sungkan untuk menampilkan mata tercolok pensil, jari terpotong dan lengan tersayat.

Dalam satu adegan terjadi kejar-kejaran di hutan hingga salah satu teman Ladya berhasil ditemukan di jalan oleh polisi patroli. Empat orang polisi pun menuju rumah Dara untuk minta konfirmasi. Penampilan polisi sangat main-main. Aneh juga cara sang kepala polisi memperkenalkan diri, “Saya Sherif…” mmm apakah Indonesia mengenal jabatan Sherif dalam kepolisian? Atau maksudnya nama pak polisi itu Sherif?

Lalu seandainya Ladya dan kawan-kawan melihat cincin batu besar yang dikenakan Maya, mereka tentu berpikir ulang untuk menolong, karena mengapa tak sekalian cincin itu dirampok? (tapi cerita ga bakal lanjut dong…..).

Dalam percakapan di meja makan terjadi pula diskusi dalam bahasa Belanda antara ibu Dara bersama anak-anaknya. Seolah memberi nafas inlander, tapi sayangnya tak diberi terjemahan teks dalam bahasa Indonesia. Padahal, pasti penonton yang mampu berbahasa Belanda sangat jarang.

Permusuhan antar kakak beradik yang kemudian mencair karena bahu membahu menyelamatkan diri pun mengingatkan akan sepasang kembar tokoh utama di film House of Wax.

Secara keseluruhan jalan cerita film cukup rapi. Kebingungan penonton mengapa wajah Dara yang terlihat awet muda tanpa kerut, terjawab menjelang akhir film. Kilas balik masa lalu disajikan dalam hitam putih turut mudah dipahami.

Tujuan film ini sebagai genre slasher-thriller yang membuat penonton duduk diam sembari bergidik cukup berhasil. Sehingga saya beri nilai 8 dari total penilaian 10. Jika Anda tak kuat melihat darah yang berceceran dimana-mana atau adegan sadis, film ini tak layak Anda tonton, apalagi bukan untuk menghibur.

Balthasar’s Odyssey – Nama Tuhan yang Keseratus


Penulis : Amin Maalouf Penerbit : PT Serambi Ilmu Semesta (Cetakan II : November 2006)
Halaman : 618 halaman



“TERKUTUKLAH ANGKA-angka itu dan mereka yang mempergunakannya!” (maki Balthasar di halaman 131).

Masih ingat film 2012? Film itu mengisahkan bumi yang hancur akibat peningkatan suhu matahari yang menyebabkan matahari memancarkan neutrinos ke bumi dan menimbulkan pemanasan pada kerak bumi.

Ide skenario film terinspirasi ramalan suku Maya bahwa bumi bakal kiamat pada 2012.

Lalu film The Omen –anak setan dalam wujud manusia dengan tanda di kulit kepalanya tertera “666”.

Angka memang menarik dikutak-katik sebagai pertanda, sebuah bahasa enkripsi, atau kejadian luar biasa. Angka dan tentang ketakutan manusia akan akhir dunia ini yang diolah oleh Amin Maalouf dalam cerita bergenre fiksi “Balthasar’s Odyssey”.

Gaya cerita dituturkan dalam bentuk jurnal (diari) dari sudut pandang Balthasar Embriaco seorang pedagang buku di Gibelet Lebanon. Menjelang tahun 1666 pria keturunan Genoa (Italia) itu melakukan perjalanan mencari buku “Nama Tuhan yang keseratus”.

Pada saat itu beredar kepercayaan bahwa kiamat akan terjadi pada 1666. Tahun kiamat ini dicetuskan dari kepercayaan Yahudi. Di dalam Zohar, kitab para penganut kabalisme, dituliskan bahwa pada tahun 5408 mereka yang terbaring di dalam tanah akan bangkit. Dalam penanggalan Yahudi, tahun tersebut sama dengan tahun 1648 Masehi.

Lalu mengapa peristiwa yang sudah diprediksi pada 1648 justru baru akan terjadi pada 1666? Terjadi jarak selama 18 tahun – sebuah penjumlahan dari angka 6 + 6 + 6.

Dan kiamat bisa dicegah jika saja manusia mengetahui nama Tuhan yang keseratus. Angka ini merujuk dari 99 nama Tuhan yang ada di Al Quran dan memancing pertanyaan di dalam benak orang yang penasaran : adakah nama Tuhan yang keseratus untuk menggenapkan angka itu.

Sehingga banyak yang menaruh harap pemecahannya ada di buku “Nama Tersembunyi yang Tak Terungkap” atau disebut juga “Nama yang Keseratus” karya Mazandarani.

Secara tak sengaja buku itu jatuh ke tangan Balthasar, sebagai pemberian tetangga miskin yang ditolong olehnya. Namun sebelum buku sempat dibaca, utusan Raja Perancis, Chevalier Marmontel melihat serta langsung membelinya dengan harga tinggi dan dibawa berlayar ke Konstantinopel.

Selain atas desakan keponakannya Boumeh, Balthasar merasa bersalah seolah tidak mampu memegang amanat pemberian orang kepadanya. Ia memutuskan membeli kembali buku tersebut dari tangan Chevalier Marmontel.

Akhirnya berangkatlah Balthasar bersama kedua keponakan dan pembantu setianya menyusul sang Chevalier ke Konstantinopel (Istambul). Dalam perjalanan rombongan kecilnya pun mendapat tambahan Marta, anak tukang cukur langganan Balthasar sekaligus cinta terpendam di masa lalu.

Hingga menamatkan buku ini, pembaca bukan lagi penasaran apakah ramalan terbukti, atau penemuan nama Tuhan keseratus yang pada kenyataan memang hingga detik ini tak kita ketahui.

Akan tetapi justru tentang Balthasar yang keluar dari ‘zona nyaman’ di Gibelet. Dalam perjalanannya sering terbersit perasaan bersalah hingga memaki diri mengapa ia menuruti ide anak ingusan Boumeh, lalu meninggalkan tokonya yang sudah terkenal selama empat generasi.

Namun dalam dua tahun perjalanan, dia menemukan banyak hal. Mengalami berbagai peristiwa, mengenal berbagai karakter manusia, aparat pemerintahan yang korup, teman lintas agama, bahkan cinta.

Pelajaran yang bisa dipetik adalah mengumpamakan diri bagai di dalam ‘kepompong’, kita tak tahu bahwa diluar banyak kejadian menarik, bahagia, seru, mengharukan bahkan menyeramkan yang bisa menjadi pengalaman hidup. Dan seperti Balthasar, hidupnya berubah total.

Dalam novel setebal 618 halaman mengambil setting abad pertengahan, ketika kekuasaan kesultanan dan muslim masih berjaya di kawasan Asia barat daya, sementara di Eropa sendiri terpecah antara berbagai aliran Kristen. Dalam buku ini juga banyak dibantu oleh catatan kaki di bagian paling bawah halaman , ini membantu pembaca memahami istilah dan latar sejarah.

Meskipun ada ganjalan pertanyaan mengapa terdapat perbedaan penulisan nama antara sinopsis di bagian belakang buku (Baldassare), judul sekaligus di dalam tulisan (Balthasar) akan tetapi bukan masalah.