Rabu, 26 Mei 2010

The Ghost Writer

Sutradara : Roman Polanski Skenario : Roman Polanski dan Robert Harris (berdasarkan novel Robert Harris)
Pemain : Ewan McGregor, Pierce Brosnan, Olivia Williams, Kim Catrall
(2010)


Suatu hari di Martha’s Vineyard, sebuah tempat peristirahatan di timur Amerika Serikat bagi kaum kaya raya Amerika. Sang penulis bayangan atau lazim disebut ghost writer, The Ghost (Ewan McGregor) menginjakkan kaki saat kawasan tepi laut itu tengah dipeluk mendung, angin menderu dan ombak bergulung memecah pantai.

Ia sampai di sebuah vila mewah berarsitektur minimalis, dingin dan berwarna kelabu. Vila tersebut dihuni oleh mantan Perdana Menteri Inggris Adam Lang (Pierce Brosnan) dan istri Ruth Lang (Olivia Williams), dan asisten Adam, Amelia Bly (Kim Catrall).

Selain disambut oleh cuaca tak bersahabat, vila mewah namun dingin, The Ghost pun langsung merasakan aura permusuhan antara sang istri perdana menteri versus asisten pribadi. Serta setumpuk naskah belum jadi tentang biografi sang perdana menteri yang ganteng, kharismatik dan berwibawa.

Tokoh utama yang sepanjang film tak pernah disebutkan namanya, menggantikan posisi Mike McAra, ghost writer sebelumnya yang meninggal misterius, untuk mengedit dan menulis ulang biografi Adam Lang.

Dalam penugasannya, ia malah menemukan fakta-fakta yang masih diselubungi misteri, menelusuri sejumlah nama dari masa lalu, termasuk menemukan awal karier politik Adam Lang yang aneh dan penuh missing link. Ia malah bekerja bak reporter investigasi.

Langkah pertama ia lakukan adalah menambahkan peran Ruth Lang yang terasa sangat minim. Secara tak sengaja dia menemukan foto-foto dan catatan lama McAra, membuatnya ingin mengetahui lebih lanjut tentang latar belakang Adam Lang.

Adam Lang terancam digiring ke pengadilan internasional karena di masa lalu ia diduga memerintahkan intel Inggris menculik empat orang tertuduh teroris dan menyerahkan kepada CIA. Karena ancaman ini, Lang memilih untuk sementara menetap di Amerika.

Hal ini menyisakan tanya bagi sejumlah warga Inggris, apakah mantan perdana menterinya adalah antek Amerika alias CIA. Mengapa perdana menteri mereka terlalu penurut terhadap keinginan Amerika saat perang Irak?

Cerita yang diangkat dari buku berjudul sama karya Robert Harris, secara jelas memposisikan sosok Adam Lang jelas terinspirasi dari mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair.

Sepanjang film menyuguhkan cerita thriller politik dengan dialog-dialog antar tokoh, dipadu warna muram dan cahaya yang minim, yang berhasil membangun ketegangan di benak penonton, sekaligus menebak-nebak hingga akhir dari cerita.

Meskipun kita sudah bisa menduga, namun jalan cerita yang mengalir cenderung lambat ini tidak memudahkan kita menebak. Sejumlah dugaan melintas seiring putaran gambar.

Apalagi didukung karakter kuat sejumlah pemain seperti Ewan McGregor sebagai pemeran utama. Kita juga menyaksikan Kim Catrall tampil sebagai sosok yang sangat berbeda dari karakternya sebagai Samantha, salah satu tokoh sentral di Sex and the City.

Kim tampil sebagai Amanda yang cerdas, tenang, sekaligus mengagumi boss-nya, Adam Lang, adu menonjol dengan karakter Ruth yang dingin, angkuh, sinistis sekaligus manipulatif.

Bagaimana dengan Pierce Brosnan yang berperan sebagai Adam Lang? Aktor yang satu ini memang sudah punya pakem peranan sesuai profil dirinya yang tampan sekaligus bergaya gentle. Hanya bagai sekuel karakter yang pernah dibangunnya : dari serial televisi Remington Steele, James Bond, hingga Mamma Mia!

Dalam hal ini Roman Polanski masih tetap sutradara senior yang mempesona. Sajian gambar di awal dan akhir film kuat mengena. Film dibuka dengan kapal ferry telah bersandar di pelabuhan di sebuah hari berkabut. Semua kendaraan beriringan keluar dari lambung kapal dan meninggalkan sebuah mobil BMW X5 tak juga bergerak, lalu berganti snapshot air tenang berbatas kabut, memberikan visualisasi pengendara mobil tersebut (yang dikemudian Anda ketahui sebagai mobil yang dibawa oleh McAra) telah lenyap.

Lalu, pada akhir film divisualkan kertas-kertas beterbangan di jalan raya kota London yang basah dan muram. Tak ada teriak, tak ada desingan peluru, tak ada pula darah muncrat. Hanya suasana kota kelabu menegaskan The Ghost adalah bayangan yang tak pernah eksis.

Roman Polanski meraih penghargaan Sutradara Terbaik untuk film ini dalam Festival Film Berlin 2010.

Frost/Nixon

Pemain : Michael Sheen, Frank Langella
Sutradara : Ron Howard
(2008)


Jika acara talkshow televisi ibarat ring tinju, maka harus ada yang menang dan kalah. Dan ini yang terjadi dalam talkshow Frost vs Nixon.

Terbongkarnya penyadapan telepon di kubu Partai Demokrat, yang dikenal dengan sebutan Skandal Watergate, membuat Richard Nixon (Frank Langella) resmi mengundurkan diri dari jabatan sebagai Presiden AS.

Di tengah perdebatan antara perlunya Nixon minta maaf kepada rakyat Amerika, di saat itu pula pembawaa acara talkshow asal Inggris, David Frost (Michael Sheen), justru ingin mengajukan wawancara eksklusif bersama Nixon untuk ditayangkan di televisi.

Tawaran wawancara dari Frost disambut baik oleh kubu Nixon. Reputasi Frost selama ini sebagai presenter ganteng yang mengawali karir sebagai pelawak, flamboyan, mengelola acara non-politik, dianggap akan mengembalikan citra positif Nixon dalam sebuah sesi tanya-jawab ringan.

Melalui film sepanjang 1 jam 51 menit ini, penonton bisa mengetahui tentang dunia pertelevisian. Kejadian berlangsung pada tahun 1977 ternyata “rating” sudah menjadi tolok ukur sementara “iklan” bagai “infus” sebuah acara.

Frost pada awalnya kelimpungan mencari sumber dana untuk membiayai ongkos produksi rekaman. Menurut Frost, tayangan wawancara Nixon pasca pengunduran dirinya bakal menarik rating tinggi dengan asumsi sekitar 400 juta penonton di seluruh dunia akan menyaksikan tayangan tersebut.

Namun kenyataan yang ditemui di lapangan ternyata salah. Image negatif di masyarakat dan kontroversi yang melekat membuat sosok Nixon (dianggap) tak bakal mengundang penonton.

Frost mengalami berbagai penolakan. Sejumlah stasiun berita enggan membeli ataupun mendanai. Konsep acara ini dinilai tak punya nilai jual. Simak pula salah seorang petinggi stasiun televisi di AS menolak Frost dengan kalimat, “Maaf, tapi peraturan kami tidak membayar sebuah wawancara berita.”

Memang, Nixon memperoleh bayaran untuk wawancara tersebut.

Kemudian kita simak pada paruh awal film, bagaiamana Frost mempersiapkan acara dibantu produser dan periset untuk mempersiapkan sejumlah pertanyaan dan menggali informasi.

Sedari awal kita disadarkan pada sosok Nixon yang keras berhati baja, sebagai negarawan kaya pengalaman tampil penuh percaya diri dan menguasai sesi wawancara. Sedangkan Frost yang berkemauan kuat tampil bak petinju hijau yang sempat kelimpungan terkena jab-jab Nixon.

Sesi wawancara ini berlangsung 4 kali. Dimana syuting selama tiga hari berturut-turut, lalu terhenti karena perayaan Paskah. Selama jeda syuting, Frost yang dalam rangkaian sebelumnya seolah bakal tampil sebagai pecundang, mengumpulkan bahan bersama timnya.

Dengan amunisi yang lebih tajam pada sesi terakhir, melalui bekal investigasi ke perpustakaan pengadilan federal, Frost melontarkan pernyataan kunci bahwa dia mewakili pikiran di benak hampir seluruh masyarakat AS, apakah mantan Presiden menyesal atas Skandal Watergate.

Gotcha! Caption bagus ketika kamera televisi menyorot wajah Nixon secara closeup, di sesi terakhir wawancara.

Usai menjawab pertanyaan tampak wajah Nixon yang murung. Mata menerawang menyiratkan seseorang yang sedang flash back kembali ke masa lalu, mengurutkan rangkaian peristiwa hingga dia mengambil satu keputusan yang mungkin akan menghasilkan keluaran berbeda jika langkah lain yang dia ambil.

Sebuah keputusan telah diambil oleh Nixon, termasuk mengeluarkan apa yang selama ini dia pendam dalam benaknya. Nixon telah Knock Out (KO).

Anda tiba-tiba melihat sosok Nixon yang semula bagai petinju tegar, haus kemenangan, berubah menjadi orang yang perlu dikasihani. Kita sebagai penonton pun sempat bertanya, sebenarnya apa tujuan tayangan televisi yang mencecar sebuah pengakuan kesalahan dari seorang tua yang sudah terbuang dari puncak karir politiknya?

Walhasil Nixon bagai mantan peraih gelar tinju kelas dunia, yang ngotot kembali ke arena ring, untuk kemudian menyadari bahwa dirinya sudah tamat justru ketika sudah di atas kanvas ring.

Rating tayangan ini dianggap tersukses sebagai sebuah talkshow, Frost menjadi pemenang di arena ini.

Film ini memang diangkat dari kisah nyata. Sebelumnya kita ketahui film All the President’s Men (1976), yang dibintangi oleh Dustin Hoffman dan Robert Redford mengangkat cerita nyata tentang dua wartawan The Washington Post, Bob Woodword dan Carl Bernstein membongkar skandal Watergate yang melibatkan Presiden AS, Richard Nixon di era 1970-an.

Dalam film ini penonton disuguhkan teknik jurnalisme investigasi dua wartawan media cetak mengendus keterlibatan Nixon dalam penyadapan, termasuk teknik penelusuran menggunakan narasumber anonim bersandi “Deep Throat”.

Sehingga Film Frost/Nixon seolah melengkapi cerita berlatar dunia jurnalistik dengan fokus pasca terbongkarnya kasus itu dengan membidik tokoh yang hingga meninggalnya pada 1994 akibat stroke tetap meninggalkan silang pendapat tentang keterlibatannya dalam skandal Watergate.

“All the President Men” maupun “Frost/Nixon” merupakan dua buah film menarik yang menyuguhkan dunia jurnalistik, baik tentang kegigihan penggalian berita versus tohokan kamera.

Because She Can (Bos dari Neraka)

Pengarang : Bridie Clark Penerjemah : Siska Yuanita
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama (November, 2008)



Bagi pembaca maupun penonton versi film yang diadaptasi dari novel “Devils Wear Prada” tentu ingat karakter Miranda Priestley, bos Andrea Sachs, yang menakutkan?

Nah buku “Bos dari Neraka” juga bertemakan konflik antara bos dan anak buah. Anak buah bernama Claire Truman sedangkan bos bernama Vivian Grant. Berbeda dengan karakter Miranda yang perfeksionis dan ja’im, maka Vivian digambarkan sebagai pribadi kasar, mulutnya tak segan memuntahkan makian dan demanding.

Vivian sebenarnya memiliki kemampuan untuk melihat kesempatan, etos kerja yang tangguh, dan bahkan intuisi marketingnya mampu mencium jenis buku yang bakal laris. Meskipun jangan harap bukunya bakal berupa sastra berkelas.

Tapi yaaaa itu… Vivian Grant punya emosi yang meledak-ledak. Ia doyan bersumpah serapah yang bisa membikin anak buahnya depresi. “Oh, dia lebih daripada sekadar gampang marah,” Jackson tertawa tanpa humor, sambil menggosok-gosok alisnya. “Vivian Grant itu arogan, kasar, dan lebih peduli pada egonya sendiri ketimbang menerbitkan buku-buku berkualitas.” (Halaman 87).

Cerita bermula dari tokoh utama Claire yang stuck dalam urusan cinta dan karir. Lalu dia mendapat keberuntungan. Bertemu kembali dengan pria yang benar-benar membuatnya crush on the heart dari masa kuliah : Randal Cox. Tampan, berlatar keluarga terhormat dan sukses pula secara pribadi.

Randall pun memberi Claire referensi untuk melamar pekerjaan di Grant Books, penerbitan yang dipimpin oleh Vivian. Ia memang sudah merasa jenuh di perusahaan penerbitan tempat ia bekerja selama 5 tahun hingga mencapai Associate Editor.

Secara skala perusahaan, Grant Books jauh diatas P & P tempat dia bekerja. Namun, seperti umumnya tips melamar bekerja bahwa kenali dulu perusahaan yang bakal kamu incar, sebenarnya Claire sudah mendapat informasi ‘miring’ seputar Vivian.

Informasi seperti karyawan yang hanya bertahan beberapa minggu dan selanjutnya berjam-berjam terapi psikiatris. Amukan Vivian memang legendaries dan menjadi mitos di kalangan penerbit.

Hanya saja Claire tetap menerima pekerjaan tersebut. Yang dilihat adalah kesuksesan Vivian melahirkan sejumlah buku best-seller. Ternyata… semua isu itu benar. Pekerjaan menyita seluruh waktunya, ditambah kehidupan pribadinya yang berubah cepat.

Pertunangan dengan Randall Cox yang dilanjutkan rencana pernikahan yang terasa cepat dan hanya karena desakan calon ibu mertua. Claire seolah juga tidak mengenal pribadi Randall yang tergambarkan sebagai pria workaholic. Dalam kondisi yang berbaur masalah itu Claire pun bekerjasama dengan seorang pengarang cerdas sekaligus ganteng.

So, bakal sudah ketebak? Memilih Randall atau Luke Mayville, penulis ganteng sekaligus humble.

Sebuah cerita fiksi yang mengalir ringan termasuk dalam genre chicklit. Tapi yang perlu digaris bawahi, jika Anda tertarik dunia editorial dan penerbitan, cerita di dalam buku ini memberikan gambaran tentang deskripsi kerja dan tantangan menjadi seorang editor cukup detil.

Clash of the Titans : Membandingkan Versi 1981 dan 2010

Clash of the Titans (1981)

Pemain : Laurence Olivier, Maggie Smith, Harry Hamlin
Sutradara : Desmond Davis


***

Clash of the Titans (2010)
Pemain : Sam Worthington, Liam Neeson, Ralph Fienness, Gemma Arterton
Sutradara : Louis Leterrier




Jika sebelumnya di blog ini sudah ada resensi film Clash of the Titans (2010) dari teman saya, Toni. Maka saya ingin menulis sebagai penikmat film Clash of the Titans lawas yang kecewa atas hasil perekaan ulang filmnya.

Sebagai informasi, Clash of the Titans adalah film tahun 1981. Film ini diangkat dari legenda Yunani, tentang petualangan Perseus (Harry Hamlin) –anak Dewa Zeus (Laurence Olivier) yang dibesarkan di desa nelayan- menjalankan misi memenggal kepala Medusa sebelum jatuh hari ke-30. Jika melewati batas hari, maka putri Andromeda dari kerajaan Argos harus dipersembahkan kepada monster laut bernama Kraken.

Ini merupakan kutuk Dewi Thetis (Maggie Smith) akibat Cassiopea ibu dari Andromeda, berani berkata bahwa putrinya lebih cantik daripada Dewi Thetis yang mereka sembah. Selain itu Andromeda seharusnya menikah dengan anak Dewi Thetis, Calibos.

Dengan minimnya teknologi Computer Graphic Interface (CGI) pada saat itu, Clash’80-an berhasil menyuguhkan sebuah cerita fantasi yang kaya akan makhluk ganjil dan dunia ajaib sebagaimana penuturan dongeng, mengandalkan efek visual spesial. Sebagai contoh mereka membuat terlebih dahulu Kraken dalam ukuran boneka mainan umumnya, lalu dengan teknik kamera monster laut itu menjadi seukuran raksasa. Animator Ray Harryhausen yang menjadi creator dalam film King Kong (1933),dan Sinbad and the Eye of the Tiger (1977) berada dibalik kesuksesan visual canggih film ini.

Saya sendiri masih anak kecil saat film ini pertama kali beredar. Hanya mencuri lihat majalah Hai milik kakak berisi ulasan film tersebut lengkap bersama gambar-gambar yang membuat imajinasi dongeng saya bereaksi. Dan ternyata melekat dalam ingatan sehingga saya mencari versi DVD dan menontonnya pada pertengahan 2000-an.

Lalu ketika Clash (2010) tayang April lalu, ekspetasi utama saya adalah bagaimana semaraknya sebuah mitologi diterjemahkan oleh kemajuan teknologi CGI.

Apalagi, Sam Worthington didaulat memerankan tokoh utama Perseus. Hati kaum hawa-ku rasanya siap-siap meleleh melihat kegantengan pria Australia yang belakangan ini tampil di film-film yang banyak diperbincangkan seperti Terminator IV-Salvation dan Avatar.

Tapi ternyata… hmm, sorry to say, saya tidak menemukan greget komputer grafis dalam remake ini. Makhluk-makhluk seperti Kraken dan Medusa versi 80’an tak kalah pamor dengan yang terbaru.

Kawasan kaya cahaya matahari pun diganti dengan sudut cerita yang banyak menggunakan tone gelap. Akhirnya kesempatan menggunakan teknologi terkini kalah karena selera penulis skenario atau sutradara.

Dari sisi cerita terjadi perubahan. Tokoh jahat di Clash’10 adalah Hades, dewa bawah tanah sekaligus adik Zeus. Dan di versi yang terbaru, Perseus bukan jatuh cinta pada Andromeda. Ada Gemma Arterton yang cantik dan bening bak pualam, berperan sebagai wanita yang menohok hati si pria yang dibesarkan oleh nelayan itu.

Sisi pakaian? Jika di film lawas para dewa termasuk Zeus tampil mengilap, versi sekarang juga tak ada eksplorasi ide tentang penampilan para dewa. Malah terasa katrok ketika Zeus bagai penampilan rocker era 90-an dengan rambut gondrong, sepatu lars tinggi, dan berbinar-binar. Ini mengingatkan pada penampilan bapak si Superman yang diperankan oleh Marlon Brando di film lawasnya Superman.

Hades, adik kandung Zeus sekaligus musuh dalam selimut, bagai kembaran Saruman dari LoTR.

Terasa dangkal ketika Perseus yang tumbuh besar sebagai anak nelayan penjala ikan, langsung tokcer berlatih pedang. Ohya, dia kan “anak Dewa”.

Karakter istimewa –tentu saja- Medusa. Konon Medusa wanita cantik sebelum dikutuk dewa menjadi gadis berambut sekaligus berbadan ular. Siapapun yang memandang mata Medusa akan berubah menjadi batu. Ini adalah subyek menantang jika diterjemahkan dalam ilustrasi gambar. Tapi mewujudkannya dalam gambar nyata di film di era 80-an? Itu butuh teknik tersendiri yang membuat penonton jadi terpesona.

Dan bisa dikatakan sesi Medusa bertarung dengan Perseus merupakan adegan mempesona di Clash’80.

Salah satu pembelajaran dari dongeng adalah mengajarkan untuk panjang akal dalam menjalani hidup. Meskipun tokoh utama kalah kuat atau kalah besar dari lawan, akan tetapi berhasil menang berkat kecerdikan.

Namun kecerdikan Perseus mengintip gerakan Medusa melalui balik tameng sekaligus laga individual memakan durasi beberapa menit (versi Clash’80), diubah menjadi menonjolkan kerjasama tim dalam versi terbaru.

Dan satu lagi kekecewaan saya : Pegasus! Bagi penikmat dongeng, nama ini terdengar indah sekaligus visualisasi menarik bahwa Pegasus adalah kuda putih bersayap dan bisa terbang. Mungkin sama halnya jika kamu sudah lekat dengan imajinasi tentang Cyclop si raksasa mata satu.

Whoa! Tapi mengapa di versi 2010 : Pegasus menjadi Black Stallion terbang??? Alias kuda hitam bersayap. Saya jadi berpikir iseng bahwa penulis naskah mempertimbangkan lebih gagah jika kendaraan Perseus adalah kuda hitam sehingga terlihat lebih jantan. Bisa jadi karena Pegasus sudah identik sebagai lambang TriStar Pictures, kompetitor Warner Bros Pictures yang memproduseri film Clash’10 … haha…imho…

Baik. Saya mungkin melankoli kenangan atas film perdana. Akibat cerita dongeng yang plek plek berhasil diterjemahkan dalam bahasa gambar di Clash’80. Seperti seorang pembaca novel –didalam benak sudah ada ekspetasi khayal jika cerita difilmkan- ternyata tak menemukan greget sama saat menonton versi pembaharuan dari cerita yang sama.

Dalam versi Clash’10, Anda bisa jadi teringat film-film fantasi epik yang sudah dibuat sebelumnya seperti The Scorpion King, The Lord of The Rings (LoTR), atau Van Helsing.

Tapi sebagai catatan, cerita di versi 2010 lebih humanis ketimbang plot Clash 80’an yang sesuai pakem dongeng.

Dalam versi 80-an saat menonjolkan ketangguhan Perseus secara individu. Karena dia anak setengah dewa setengah manusia, tampil bak superhero atau sang penakluk. Ia banyak ditolong benda-benda ajaib yang dikirimkan oleh bapaknya, Zeus.

Burung besi, Bubo, sama sekali tak punya peranan. Ya. Era millennium tentu tak percaya gratifikasi benda ajaib dari dewa.

Pembaharuan skenario cerita yang humanis menonjolkan Perseus yang ingin menjadi manusia seutuhnya, mengalami luka fisik sekaligus luka batin, pernah pula merasa kecewa dengan yang Diatas.

Perseus sebagai makhluk sosial harus bekerjasama dengan orang lain untuk menunaikan misi memotong kepala Medusa sebelum gerhana matahari muncul, sebagai tanda putri Andromeda harus dipersembahkan kepada Kraken.

Makna lain yang bisa dipetik adalah tentang menggunakan strategi menghajar lawan tanpa menggunakan tangan sendiri.

Sebagai latar belakang, dahulu langit dikuasai oleh Titan yang memiliki tiga putra yaitu Zeus, Poseidon dan Hades. Ketiga kakak beradik ini berkonspirasi menggulingkan orangtuanya sendiri dimana Zeus memanfaatkan Hades untuk menyingkirkan Titan, sekaligus menelikung dan membuang Hades ke dunia bawah.

Siapa menanam dia akan menuai. Bak nasehat anak durhaka menggulingkan orangtua sendiri bakal kena karmanya, maka Zeus pun diincar dendam sang adik (Hades), penolakan pengakuan dari sang anak, dan kembali Zeus harus menyingkirkan musuh tanpa menggunakan kekuatan sendiri. Perseus adalah ‘senjata’ sang ayah untuk menyingkirkan Hades.

Hanya sayang akting Sam Worthington sangat kurang menonjolkan sisi dramatisasi manusia. Wajahnya nyaris sama sepanjang film meskipun dia mengalami kesedihan saat orangtua dan adik angkatnya mati tenggelam, atau saat menjadi manusia udik masuk kota, hingga menjadi calon pahlawan.

Aktingnya justru lebih menonjol saat berperan sebagai manusia cyborg berhati manusia di Terminator Salvation.

Memang toh saya menonton Clash’10 sebagai mengenang film lawas favorit, sekaligus menerapkan fungsi film : sebagai media hiburan.

My Blueberry Nights

Waktu : 112 menit
Pemain : Jude Law, David Strathairn, Rachel Weisz, Natalie Portman,
Sutradara : Wong Kar Wai
(2007)


Berbeda dengan penulis skenario dan sutradara Cina umumnya yang larut dalam film aksi, Wong Kar-Wai malah senang menyajikan drama-drama romantis.

Belajar desain grafis di Hong Kong, pria kelahiran Shanghai Cina pada 1958 ini merintis jalan ke perfilman melalui film-film drama televisi. Ia menjadi penulis skenario sekaligus sutradara. Film My Blueberry Nights (2007) merupakan film bahasa Inggrisnya yang pertama.

Film ini sendiri sebuah cerita cinta yang penuh bahasa gambar, menyajikan makna tersirat, dengan problematika masing-masing.

Cerita berawal di suatu malam di bar milik Jeremy (Jude Law). Perhatiannya terarah pada seorang pengunjung berwajah murung yang belakangan diketahui bernama Elizabeth alias Lizzy (Norah Jones). Tampak ia menggunakan telepon umum dan sikapnya dalam bercakap-cakap melalui telepon umum menunjukkan tengah terjadi baku emosi sengit.

Lizzy lalu menitipkan kunci apartemen kepada Jeremy. Hari-hari selanjutnya Lizzy rutin berkunjung ke bar hanya untuk menanyakan apakah kunci itu sudah diambil. Ia berharap suatu hari kunci tersebut diambil sang pacar (orang yang menjadi mitranya berbicara di telepon umum).

Hanya sia-sia. Kunci itu tak pernah diambil. Jeremy menunjukkan sebuah toples bening penuh berisi kunci yang tak diambil pemiliknya. Jadi, Lizzy adalah orang kesekian dengan kejadian sama. Lizzy pun memutuskan berkelana. Kerja double-shift di dua restoran demi mengumpulkan uang untuk membeli mobil. Melanglang mengikuti jalur yang terkenal dengan istilah Route 66, seperti New York, Memphis, Nevada, dan Las Vegas.

Dalam petualangannya ia menjadi pengamat kisah cinta bermacam-macam karakter. Seperti kisah cinta bertepuk sebelah tangan antara Arnie dan Sue Lynne (Rachel Weisz). Lalu bertemu penjudi, Leslie (Natalie Portman) dan menjadi sahabat seperjalanan. Cinta Leslie ditujukan kepada ayahnya sekaligus gurunya belajar memainkan kartu termasuk trick permainan.

Dan setahun kemudian Lizzy kembali ke New York. Kembali ke bar dan menemui Jeremy.

“Kamu mengingatku seperti apa? Sebagai gadis yang menyukai blueberry pie, atau sebagai gadis yang patah hati?” demikian pertanyaan Lizzy kepada Jeremy. Selama setahun pergi, Lizzy rajin mengirimkan kartu pos tanpa alamat kepada Jeremy.

Lalu film pun ditutup dengan ciuman antara Lizzy dan Jeremy yang digambarkan dalam lumernya es krim vanilla di kue blueberry yang senantiasa dikudap Lizzy saat berkunjung ke bar.

Sebuah film berdurasi sekitar 1 jam 52 menit seolah putaran scene yang datar. Tapi inilah gaya Wong Kar-Wai yang senang bermain dalam bahasa gambar.

Contoh bahasa gambar lain adalah pada saat Lizzy pulang ke New York. Sebelum memasuki bar, terpampang snapshot wanita ini pulang sembari membawa tas Louis Vuitton berukuran besar–merek mahal menandakan keberhasilan merantau cari uang- memasuki restoran Jeremy.

Silahkan memaknai inilah cinta sebenarnya yang butuh waktu untuk menyadari kehadirannya.

Selama kurang dari 2 jam, penonton disuguhkan cerita yang datar, tanpa gejolak dan ledakan, semelankolis wajah Lizzy. Film ini merupakan aksi perdana penyanyi peraih Grammy Award, Norah Jones.