Senin, 23 Agustus 2010

Bu Slim dan Pak Bil - Mengobrolkan Kegiatan Belajar-Mengajar Berbasiskan Emosi


Penulis : Hernowo

Penerbit : MLC (Mizan Learning Center) – Cetakan 1, Maret 2005
Halaman : 125 halaman



Doktor psikologi lulusan Universitas Harvard sekaligus penulis ilmu perilaku dan otak, Daniel Goleman, menghadirkan istilah Emotional Intelligence (EQ) sekitar pertengahan 1990-an.

Dalam buku berjudul sama, Goleman mengatakan Emotional Intelligence (EQ) atau Kecerdasan Emosional lebih menentukan keberhasilan seseorang ketimbang Kecerdasan Rasional (IQ).

Sumbang pikiran penulis ilmu-ilmu perilaku dan otak ini memang mengubah paradigma dalam dunia pendidikan bahwa seorang siswa tak hanya perlu fasih dalam ilmu di sekolah. Akan tetapi penting pula pendidikan emosi.

Apa saja yang menjadi bagian dari EQ? Jika membaca buku “Bu Slim dan Pak Bil – Mengobrolkan Kegiatan Belajar-Mengajar Berbasiskan Emosi” maka sekolah perlu memadukan kurikulum pendidikan dan EQ. Kecerdasan emosional ini meliputi emosi positif, empati, dan mendengarkan-aktif tidak doyan memotong orang lain saat dia masih berbicara.

Buku ini menceritakan bagaimana Bu Slim dan Pak Bil menggunakan kecerdasan emosi dalam kehidupan keseharian mereka.

Isi buku dimulai dari cerita Pak Bil mendapat kesempatan berangkat ke Jerman dan Inggris. Sebagai seorang guru, yang notabene berpenghasilan tak cukup untuk membiayai perjalanan ke luar negeri dari kantung sendiri, Pak Bil menjelaskan tentang makna energi positif.

Ia bisa pergi ke luar negeri berkat undangan sebuah LSM. Pak Bil terkenal aktif membangun kegiatan menulis dan membaca sekaligus membuka perpustakaan. Selain memperoleh piagam penghargaan, Pak Bil bisa keliling Eropa untuk menyaksikan pameran buku internasional di Frankfurt dan mengunjungi museum-museum di London.

Lalu di Jerman dia mendapat kesempatan berkunjung ke rumah Goethe yang dikaguminya, dan mengunjungi aneka museum di Inggris. Di negeri Ratu Elizabeth II ini Pak Bil mendatangi 3 museum dan mendapat pengalaman cara mendidik.

Seperti ke Imperial War Museum, Pak Bil jadi paham pentingnya belajar dari pengalaman melalui desain museum yang ditata sedemikian rupa sehingga menghasilkan ‘tampak asli’ kondisi perang dan efek buruk yang ditimbulkannya.  

Sedangkan sikap empati diulas melalui Bu Slim yang baru saja dirundung kemalangan. Suaminya, Pak Bram, mengalami musibah karena sanak saudaranya terkena tsunami di kota ujung Sumatra (Nanggroe Aceh Darussalam?).

Intinya dalam hal berkaitan dengan Kecerdasan Emosi (EQ) terdiri dari dua hal yaitu “motivasi” dan “emosi”.

Menurut Rudolf Steiner, emosi berkembang pada usia antara 7-14 tahun dan disebut inti masa kanak-kanak atau the heart of childhood, dimana para guru harus memperhatikan betul perkembangan perasaan murid pada usia itu.

Tapi selain EQ dan IQ, adapula SQ atau Kecerdasan Spiritual. SQ dipopulerkan oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, dan EQ mengefektifkan IQ dan SQ memberi arah penggunaan IQ dan EQ.

Penulis buku, Hernowo, menyampaikan beberapa buku referensi jika ingin mengetahui lebih dalam tentang kecerdasan emosional melalui diskusi tokoh-tokoh di dalam buku. Seperti Daniel Goleman (Working with Emotional Intelligence), Stephen R. Covey (The 7 Habits of Highly Effective People).

Menurut Daniel Goleman (halaman 65) manusia memiliki kecakapan emosi menjadi dua, yaitu kecakapan pribadi dan kecakapan sosial. Kecakapan pribadi meliputi kesadaran diri, pengaturan dan pengendalian diri, dan pembangkitan motivasi.

Sedangkan kecakapan sosial berkaitan dengan dua hal, yaitu empati dan keterampilan sosial.

Kelebihan buku ini hadir dalam ilustrasi gambar berisi fokus tulisan. Sehingga pembaca cepat membaca poin-poin penting. Selain itu ukuran font tulisan yang cukup besar membuat nyaman saat membaca, sekaligus mengingatkan saya pada  buku pelajaran bahasa Indonesia sekolah dasar dimana tulisan menggunakan huruf besar, bahasa baku, dan penuh gambar.

Sayangnya kadang saya menemukan bahasa yang terlalu njlimet, dan sebenarnya bisa hadir dalam bahasa lebih sederhana meskipun baku.  

Memang secara keseluruhan, buku ini bisa menjadi referensi bagi siapa saja yang menaruh minat pada topik pengembangan EQ, atau khususnya tulisan pendidikan atau psikologi.

Bagian paling berguna bagi saya pribadi adalah Glosarium di halaman awal (halaman 11) berisi kata yang sering dipakai di dalam buku dan arti dari kata tersebut. Bagi masyarakat umum atau yang khususnya berkecimpung dalam dunia pendidikan, mungkin tentu telah terbiasa mendengar kata berikut: inner self, emosi, empati, atau kecerdasan emosi, dan mengerti maksud tulisan dengan menggunakan kata-kata tersebut.

Akan tetapi, mungkin bakal kewalahan menjelaskan definisi pasti ketika diminta menjelaskan kata tersebut. Maka Glosarium ini memberi definisi resmi tentang beberapa kata yang saya sebutkan diatas.