Rabu, 27 Oktober 2010

Antologi Puisi - Roket Pun Bersyair

Penggagas : Atik Bintoro

Penyunting : Khrisna Pabichara
Penerbit : Tekro Publishing – Bogor (Cetakan I-Juni 2010, Cetakan II-Agustus 2010)
Halaman : 72 + xii halaman



Menerbitkan buku tak selalu untuk menghasilkan uang. Ada alasan lain seperti memberikan informasi, pembelajaran dan kepuasan batin penulisnya. Buku juga bisa menjadi media pengenalan agar menumbuhkan minat pembaca terhadap suatu obyek.

Seperti buku Antologi Puisi – Roket Pun Bersyair ini memperkenalkan dan menumbuhkan minat terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), roket dan satelit.

Rencana buku antologi puisi non komersil ini, yang digagas oleh Atik Bintoro Sani (Man Atek) bakal dibagikan ke masyarakat pada acara-acara yang berkaitan dengan roket dan satelit, dipublikasikan kepada komunitas sastra via milis.

Komunitas sastra atau penulis puisi yang kini terbangun melalui jejaring dunia maya sepertinya menyambut antusias. Buktinya dari rencana menampung 45 puisi, pada buku terbitan Tekro Publishing justru memuat 58 puisi. Total sebanyak 29 pemuisi menyumbangkan karyanya.

Untuk pembuatan tulisan dengan tema sudah ditentukan pasti mengundang kesulitan tersendiri bagi pesertanya, bagaimana menerjemahkan tema menjadi sebuah karya yang enak dibaca tanpa meninggalkan tema besar.  

Hasilnya menjadi sebuah antologi atau kumpulan puisi bergaya variatif. Ada yang menjadikan kata “roket” sebagai cantelan kata, wujud sebagaimana aslinya, dan adapula yang bersifat metafora.

Ambil contoh puisi “Di Perut Bunda Tiada Adenium yang Kupuja” dari Puti Sugih Arta samasekali tidak menyebut roket, dan berhasil melontarkan intepretasi pembaca.

Adapula yang bermain dalam singkat kata seperti Nisa Ayu Amalia dalam 2 karyanya. Coba simak “Pesan” yang sederhana, jenaka, tapi penutup yang touchy. Sebuah roket kembang api telah berhasil Nisa lontarkan, pecah di angkasa wusshh.. dan padam dibatas gravitasi.

Sementara karya Man Atek membuktikan bahwa pemuisi memang berada dalam dunia mesin roket dan satelit. 

Puisi-puisi dari Lailatul Kiptiyah juga bergaya khas dirinya yang jago dalam merangkai kata hingga menjadi kalimat menguntai dalam satu baris.

Beberapa puisi menghasilkan metafora romantis atau sains pada “Aku adalah Satelit Hatimu”, “Romansa Satelit”, “Sang Penakluk”, atau “Mata Angkasa”. Dan masih ada puisi lain yang mengagumi jagad raya, langit dan angkasa sebagai obyek ramuan puisi.

Masih ada nama lain yang kerap ditemukan karyanya di blog, milis Bunga Matahari, fordisastra, kemudian.com,  komunitas sastra lokal seperti Divin Nahb, St. Fatimah, Siu Elha, Atisatya Arifin, Gita Pratama, Dewi Retno Lestari Siregar, Edo Anggara, Putri Sarinande, Wory Kharisma, Arrizki Abidin, dan Khrisna Pabichara yang ikut berkontribusi dalam antologi ini.

Dengan ukurannya yang tipis dan seukuran buku saku sehingga mudah dibawa, kehadiran antologi ini membuktikan ranah sastra punya spektrum luas dan bisa memperkaya dunia iptek. 

Minggu, 24 Oktober 2010

Seri Buku Tempo: Bapak Bangsa – 4 Serangkai Pendiri Republik

Edisi Khusus Majalah Tempo 2001-2009
Tim Penyunting : Arif Zulkifli, Bagja Hidayat, Dwidjo U. Maksum, Redaksi KPG
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Cetakan Pertama (September 2010)


Seandainya mesin waktu ada dan Seri Buku Tempo: Bapak Bangsa – 4 Serangkai Pendiri Republik menjadi media lompatan pindah masa, maka saya ingin meresap masuk dan muncul di Belanda, bertemu dengan pemuda Muhammad Hatta yang sedang menempuh pendidikan tinggi di Rotterdam, untuk duduk berdiskusi meresapi khazanah ilmunya yang kaya berkat banyak baca buku.

Ikut dalam rapat Indonesische Vereeniging pada 8 Februari 1925 untuk ikut menentukan bahwa nama tanah air saya berasal bernama “Indonesia”.

Jika saya belajar disiplin dan tepat waktu dari Hatta, maka dari Sutan Sjahrir akan belajar komunikasi dan bersosialisasi. Karakter gemar bergaul pula yang menyebabkan anak jaksa kelahiran Padang Panjang, Sumatra Barat ini percaya pada kekuatan diplomasi dan dia menjadi pelatak dasar politik bebas aktif yang kini dianut Indonesia.

Lalu saya belajar berdansa dari Sjahrir sembari membahas pemikiran para filsuf sosialis dari Karl Marx, Engels, Rosa Luxemburg, Karl Kautsky, Otto Bauer, dan Hendrik de Man.

Saya juga ingin berpetualang bersama Tan Malaka seperti film Catch Me If You Can. Bak Frank Abagnale Jr. yang diperankan oleh aktor Leonardo DiCaprio, Tan Malaka melanglang lintas negara, menyamar dan berganti nama. Jejaknya terekam dari Belanda, Jerman, Cina, Filipina, Singapura, Penang, lalu mampir ke pesisir Jawa tepatnya di Bayah.

Kemudian menjadi saksi hidup Proklamasi Indonesia yang dibacakan oleh Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945, mendengarkan pidato Sukarno yang menggelorakan, bersorak atas Konferensi Asia Afrika, mengikuti sepak terjang pemerintahan di era kemerdekaan, menangis antri beli beras dan berbusana kain blacu, cemas akan gerakan pemberontakan dimana-mana, hingga Presiden Indonesia pun berganti orang.  

Namun ketika quantum leap saya selesai dan kembali ke masa kini, Sukarno hanya terlihat seperti Che Guevara. Wajah tampan Che, bertopi baret dan gayanya yang rebel, kini sebatas poster dan sablon kaus.

Sama halnya dengan Che, pemikiran Bung Karno tenggelam sebatas gambar wajah, patung dan daya tarik sebuah partai politik. Tapi apa pikiran beliau, rasanya perlu membuka buku ”Sukarno – Paradoks Revolusi Indonesia” dan buka halaman 66-76, kita bisa temukan rujukan untuk mencari sejumlah tulisan Sukarno dan tentang Sukarno bisa kita bongkar di perpustakaan setempat.

Buku Seri Bapak Bangsa juga membuka pikiran pembaca bahwa pada masa itu Sukarno bukan individu super yang membawa kemerdekaan Indonesia. Ada peran pemikiran jauh kedepan yang dipelopori Hatta, peran diplomasi Sjahrir dan jauh sebelumnya buah pikiran dan gaya revolusi Tan Malaka menginspirasi rakyat untuk merdeka dari penjajah.

Buku “4 Serangkai Pendiri Republik” merupakan kemasan ulang dari edisi khusus majalah berita mingguan Tempo yang mengambil tema dengan semangat khaul atau kelahiran 100 tahun tokoh nasional Indonesia.

Bagi pembaca setia majalah Tempo mungkin masih ingat bahwa media ini pernah menerbitkan edisi khusus dengan laporan utama membahas Sukarno (2001), Muhammad Hatta (2002), Tan Malaka (2008), dan Sutan Sjahrir (2009).

Terasa unik memang ketika majalah nasional dengan segmen berita membawa gaya jurnalisme-nya yang khas, bahasa yang mengalir, dan kekuatan ilustrasi grafis kedalam biografi tokoh yang berperan dalam membentuk negara Indonesia.

Hasilnya menjadi sebuah artikel sepanjang 50-200 halaman lebih yang mengulas seseorang tak hanya dari latar belakang dan kehidupannya yang turut membentuk pola pikir, petualangan sang tokoh hingga urusan asmara.

Jadilah sebuah kumpulan artikel yang ringan dan bersifat informatif. Seperti dikutip dari Kata Pengantar bahwa tujuan penerbitan buku ini memunculkan pesona sejarah, melalui pendekatan jurnalistik, sehingga ada unsur fakta dan data-data yang dibangun untuk merekonstruksi kepahlawan 4 tokoh pemikir bangsa.

Sebagaimana edisi khusus sebuah majalah tentu akan tampil lebih istimewa dan bisa menjadi benda koleksi. Namun jika dikemas sebagai buku tentu akan lebih fokus dan tentu saja buku ini bukan jenis sekali baca kelar. Melainkan bisa menjadi rujukan atau referensi yang memperkaya pemahaman kita tentang sejarah negeri sendiri.

Berikut ulasan singkat tentang setiap buku :


Sukarno – Paradoks Revolusi Indonesia :
Kemampuannya dalam menaklukkan perempuan sama menariknya dengan figur dirinya sebagai pemimpin. Sukarno adalah pribadi perlente, punya selera tinggi dan sadar mode, menyukai seni, bahkan pernah berkata, “membuat seniman itu susah, membuat insinyur itu mudah.”

Didalam buku ini adapula latar belakang putri Sukarno, Megawati Sukarnoputri mengikuti jejak politik ayahnya hingga sempat menjadi salah satu Presiden RI.

Bab lain di buku ini memuat buku-buku yang ditulis oleh Sukarno maupun yang membahas Sukarno.

Artikel tak selalu serius. Ada kisah jenaka pula. Misalkan apa perintah pertama Sukarno setelah menjadi Presiden pertama RI? Ternyata ketika pulang dari Jalan Pegangsaan Timur 56 menuju rumah, di tengah jalan Sukarno bertemu penjual sate. Lalu dia memesan satenya dan berarti keluarlah perintah pertamanya terhadap penjual sate, yaitu, Sate ayam lima puluh tusuk,” lalu Sukarno jongkok di dekat selokan, menyantap sate dengan lahap.


Hatta – Jejak yang Melampaui Zaman :
Dalam “Hatta-Jejak yang Melampaui Zaman” yang terbit setahun setelah laporan khusus tentang Sukarno, terlihat tim Tempo lebih matang dalam mengolah bahan hingga menampilkan biografi dalam beberapa artikel yang saling menyambung.

Membahas tentang Sukarno tentu tidak lengkap tanpa Muhammad Hatta karena mereka berdua adalah Dwi Tunggal Proklamator atau dua tokoh proklamator kemerdekaan Republik Indonesia.

Buku Bapak Bangsa seri Hatta menampilkan sosok wakil presiden pertama RI secara kronologis dan runut. Bab didalam buku memuat tentang kelahiran dan latar belakang keluarga, pembentukan karakter, perkawinannya, hingga artikel semacam behind the scene (cerita dibalik layar) Jaap Erkelens dalam sesi susahnya mengumpulkan kembali foto-foto bung Hatta.

Melalui buku sebanyak xix dan 172 halaman saya sebagai pembaca menemukan sosok Hatta lebih sekadar “Bapak Koperasi Indonesia” sebagai sebutan kepada Bung Hatta seperti yang saya pahami sejak belajar Sejarah dan Ekonomi di bangku sekolah menengah.


Sjahrir – Peran Besar Bung Kecil :
Pandai menggocek bola dan mahir bermain biola. Pemuda Sjahrir adalah pria allrounded. Cerdas meski minatnya beralih ke hal-hal diluar bidang  akademis, mumpuni secara seni dan olahraga meski dia gagal mengantungi gelar sarjana dari Fakultas Hukum Universiteit van Amsterdam.

Bagian penting latar belakang pengangkatan Sutan Sjahrir menjadi Perdana Menteri Indonesia, dan kontroversi timbulnya jabatan ini. Dalam buku ini juga diulas peran Sjahrir memperkenalkan Indonesia pada awal kemerdekaan di dunia internasional. Ada juga satu bab di buku mengangkat kehidupan pribadi Sjahrir.

Hanya pada foto halaman 43 dengan caption “Presiden Sukarno berdiskusi dengan Sjahrir, 1946. Sering berbeda pendapat” saya melihat didalam foto itu sepertinya bukan Presiden Sukarno, melainkan Bung Hatta yang tengah berdiskusi dengan Sjahrir.  


Tan Malaka – Bapak Republik yang Dilupakan :

Buah pikiran Ibrahim Datuk Tan Malaka yang dituangkan dalam berbagai buku menjadi bacaan wajib tokoh kemerdekaan seperti Sukarno, Hatta dan Sjahrir. Ia juga mencetuskan sekolah rakyat dan pernah memimpin Partai Komunis Indonesia.

Sayang, kisah hidupnya berakhir tragis sebagaimana tanggal kelahirannya tak diketahui. Makamnya sampai hari ini tidak jelas dan perlu izin Departemen Sosial untuk bongkar makam dan melakukan tes DNA.

Buku ini mengupas kisah hidup Tan Malaka khususnya tentang masa sekolah, perjalanan terbentuknya ajaran Marxisme-Leninisme dan pro kaum proletar pada dirinya, serta kisah cinta pria yang selama hidupnya tidak pernah menikah ini.

Adanya komik strip 2,5 halaman Satu Wajah Seribu Nama yang menceritakan perjalanan pelarian dan penyamaran Tan Malaka dari satu lokasi ke lokasi lain hingga lintas negara, memudahkan pembaca memahami jalur pelarian Tan Malaka.

Pada bab terakhir terangkum beberapa tulisan sosiolog, ahli sejarah dan penulis buku tentang Tan Malaka dalam bentuk Kolom tulisan.