Selasa, 11 Oktober 2011

Season of the Witch

Pemain: Nicolas Cage, Ron Perlman, Stephen Campbell Moore, Claire Foy, Christopher Lee
Sutradara: Dominic Sena
Skenario: Bragi F. Schut
Waktu: 109 menit
(2011)



Behmen of Blabrik (Nicolas Cage) dan Felson (Ron Perlman)  adalah dua sahabat prajurit desertir dari perang Salib. Dan dalam pengembaraan selama sebulan mereka ‘terdampar’ di Smyrna. Ternyata telah terjadi wabah sampar selama 3 bulan termasuk menimpa Kardinal setempat.

Seorang wanita yang tidak diketahui namanya dituduh sebagai penyihir dan menimbulkan wabah ini sejak dia datang ke kota. Wanita itu harus dibawa ke Abby of Severak. Disana wanita itu akan menjalani prosesi pengadilan. Pengadilannya pun bukan oleh hakim, jaksa sebagaimana umumnya, tapi dengan menjalani semacam prosesi doa atau penyucian jiwa dengan membaca Book of Solomon untuk membuktikan dirinya penyihir atau bukan.

Kitab Solomon adalah buku yang digunakan dalam ritual pembuktian penyihir atau pembasmian orang yang kerasukan setan (exorcism).

Behmen dan Felson pun diminta Cardinal D’Ambroise untuk melakukan perjalanan ke Severak. Dalam perjalanan mereka ditemani oleh ksatria Eckhart, pendeta Debelzaq dan orang hukuman Hagamar sebagai penunjuk jalan. Anak altar, Kay, yang bermimpi menjadi ksatria kemudian ikut bergabung.

Perjalanan memakan waktu 6 hari, dapat dikurangi setengahnya jika melintasi Hutan Wormwood. Namun hutan angker itu punya cerita tentang orang-orang yang masuk ke dalam hutan dan tidak pernah kembali.

Untuk mencapai destinasi, mereka mengalami petualangan yang tidak bisa diterima akal. Sosok wanita tertuduh sebagai penyihir yang belakangan diketahui bernama Anna pun membuat orang terombang-ambing dalam rasa iba, tidak percaya atau malah memang setan.

Film ini bergaya horror dengan balutan sejarah. Latar cerita terjadi pada abad ke-14 ketika belahan Eropa percaya adanya wanita-wanita tukang tekung atau penyihir. Cara masyarakat menghukum seorang wanita yang dituduh sebagai penyihir menjadi pembuka film. Bertempat di kota Villach pada tahun 1235 setelah Masehi, tiga wanita akan dihukum dengan dililit tali dan dijatuhkan ke bawah jembatan. Badannya terbenam di air sungai yang mengalir di bawah jembatan.

Tak berhenti sampai disitu, kemudian tubuh wanita yang dihukum tadi harus ditarik kembali ke permukaan untuk dilakukan ritual doa dengan menggunakan kitab Solomon (Book of Solomon).

Ternyata setan turun ke bumi untuk menyingkirkan buku kitab tersebut agar bisa menguasai bumi dan meliputinya dengan kegelapan.

Jalan cerita mengalir rapi, dan memasukkan unsur sejarah. Perang Salib yang berlarut-larut, yang terjadi antara 1095-1291, memunculkan problem ekonomi, penyakit dan pertentangan batin. Antara kebenaran agama versus kenyataannya kebanyakan korban adalah masyarakat tak berdosa, termasuk wanita dan anak-anak.

Hanya saja kesalahan fatal film ini adalah geografi. Seperti dikutip dari situs IMDb, seperti Coast of Styria yang kini masuk dalam wilayah Austria tidak memiliki garis pantai. Demikian pula jika maksudnya Styria di Inggris. Lalu ajang pertempuran di Gulf of Edremit berada di sebelah barat bagian utara Anatolia (West-Northern Anatolia) bukan padang pasir tapi justru kaya tumbuhan hijau.

Kesimpulannya, tidak perlu jadikan film ini rujukan sejarah. Nikmati saja filmnya J
Film ini bisa masuk ke dalam horror exorcism atau kemasukan setan, dimana efek visual tampil rapi.


Minggu, 09 Oktober 2011

Monte Carlo

Pemain: Selena Gomez, Leighton Meester, Katie Cassidy
Sutradara: Thomas Bezucha
Skenario: Thomas Bezucha, April Blair
(2011)


Ringan, dangkal, tapi cukup menghibur. Ini komentar yang bisa dikatakan usai menonton Monte Carlo.

Tokoh sentral film ini adalah gadis 18 tahun asal Texas AS, Grace Bennett (diperankan oleh Selena Gomez) yang punya impian melakukan perjalanan ke Paris. Untuk merealisasikan mimpinya, dia bekerja sebagai part-timer di restoran dan menabungkan tips yang ia peroleh ke dalam toples kaca bertuliskan, “Grace’s Fund for Paris”.

Mimpi ini menjadi kenyataan ketika dia memperoleh hadiah kelulusan dari ayahnya (Brett Cullen). Bahkan sang ayah membayari perjalanan bertiga, yaitu kakak tirinya Mary Margaret “Meg” Kelly-Bennet dan Emma Perkins (Katie Cassidy).

Emma teman kerja Grace di kafe, tapi sekaligus rekan satu sekolah sang kakak tiri, Meg. Bedanya Meg melanjutkan sekolah sedangkan Emma siswa DO demi mengejar karir sebagai model (meski gagal). Bisa ditebak perjalanan ini menjadi ‘panas dingin’ karena ketidakakuran saudara tiri dan mantan teman satu sekolah.

Lalu tidak sengaja mereka ketinggalan bis rombongan saat berhenti di Menara Eiffel. Pengejaran bis yang sia-sia, tersesat, menghindari hujan lebat, membuat mereka masuk ke dalam hotel mewah.

Tidak disangka di dalam hotel mewah itu ada Cordelia Winthrop-Scott (diperankan juga oleh Selena Gomez) putri pewaris kaya asal Inggris yang harus terbang ke Monte Carlo demi acara amal.

Kemiripan wajah Grace dengan Cordelia, menimbulkan kesalahpahaman petugas hotel. Lalu upaya menghindari paparazzi membuat mereka masuk ke mobil mewah yang mengantarkan mereka ke bandara dimana jet pribadi siap menerbangkan mereka ke ibukota Monako itu.

Selama beberapa hari hingga menuju puncak acara lelang amal yang berlangsung Jumat, mereka harus menutupi rahasia, terutama menghindari sikap awas dari Tante Alicia yang juga hadir dalam perhelatan. Ketika ketahuan, tante itu malah mengira Cordelia menyewa wanita berwajah mirip agar dirinya bebas berpesta.

Adapula selipan kisah cinta antara Grace dengan Theo yang diperankan aktor remaja asal Perancis, Pierre Boulanger, pembuktian cinta sejati antara Emma dan pacar Texas-nya, Owen, dan penemuan cinta antara Meg dan Riley.

Ide film ini berdasarkan novel berjudul Headhunters karya Jules Bass. Dalam cerita novel mengangkat kisah empat wanita tengah baya asal Texas yang bergaya seperti wanita kaya pewaris harta untuk mendapatkan suami potensial di Monte Carlo. Di ibukota Monako itu, mereka bertemu empat gigolo yang berpura-pura sebagai playboy kaya.

Namun saat diangkat ke layar lebar, tokoh-tokoh kemudian dibuat lebih muda.

Syuting berlokasi di Budapest (Hungaria), Paris (Perancis) dan Monako. Namun sayang sepertinya penonton tidak menangkap greget keindahan kota-kota Eropa. Hanya sejumlah scene cepat dari satu lokasi berpindah ke lokasi lain. Apalagi berharap jelajah mata terpuaskan karena menikmati keindahan Monte Carlo yang menginspirasi judul film.

Film ini pun tidak menjanjikan kondisi seperti Sex n the City dengan parade busana cantik membalut para tokoh sentral. Gaya Cordelia yang ‘tua’ malah sepertinya tidak pas dengan pencitraan posisi heiress yang doyan pesta dan berbalut gosip skandal. Selena Gomez kepayahan membentuk citra Cordelia yang jadinya tua, aksen bahasa yang aneh sekaligus wajah ga jelas bak tokoh antagonis dalam sinetron Indonesia.

Konflik antara kakak-adik masih jauh lebih menarik menonton “From Prada to Nada” atau “In Her Shoe”.

Di bagian akhir film berdurasi 109 menit terjadi kelanjutan kisah cinta masing-masing gadis ini. Grace menjadi sukarelawan di Rumania dan bertemu kembali dengan Theo. Emma bertunangan dengan Owen. Dan Meg mencapai puncak Machu Picchu bersama Riley. Ia menjadi lebih lepas, tidak penuh pertimbangan dan kaku.
She’s allready 20 (over 18) and responsible by herself. Tapi ini film remaja dan menyodorkan ide liburan berbulan-bulan, lintas negara, dengan pacar yang belum resmi menikah? Hmmm…. Kenapa agak mengganjal di hati ini?

Lagu-lagu soundtrack juga cukup up-beat enak di kuping, termasuk “Who Says” yang dinyanyikan Selena Gomez. Liriknya mengajak kita menjadi diri sendiri.

Secara keseluruhan film ini masih layak tonton, terutama di saat Anda ingin menghabiskan liburan akhir pekan membuang penat. Karena film ini memenuhi kebutuhan dasar hasil dari menonton film: cukup menghibur dan ringan. 


Sabtu, 16 Juli 2011

Insidious

Pemain: Rose Byrne, Patrick Wilson, Ty Simpkins
Sutradara: James Wan
Penulis Skenario: Leigh Whannell
Waktu: 103 menit
(2010)




Renai dan Josh Lambert (Rose Byrne dan Patrick Wilson), beserta ketiga anak mereka, pindah ke rumah yang baru. Tentu harapan akan kehidupan normal dan bahagia bakal menyertai.

Namun masalah bermula ketika suatu malam Dalton (Ty Simpkins – pemeran di film “The Next Three Days”) naik ke loteng karena pintunya terbuka. Lalu dia mencoba menggapai penyala lampu. Malang tangga yang dia tapaki patah, lalu Dalton jatuh dan menjerit kencang. Ayah dan ibunya yang sedang berkumpul bersama langsung mengejar arah teriakan.

Renai dan Josh mendapati Dalton sedang duduk menatap pojokan  dengan sedikit luka memar di kening. Sepertinya tidak ada masalah, Dalton pun ditinggalkan di kamar tidur.

Alangkah terkejut ketika esok harinya Dalton tidak bangun saat waktunya berangkat sekolah. Segera dibawa ke rumah sakit dan diagnosa dokter Dalton mengalami koma, meskipun tidak terjadi kerusakan serius pada otak maupun fisik, dan dokter  mengatakan anak tertua mereka ini akan segera bangun dalam beberapa hari, namun kenyataannya tiga bulan berlalu dan Dalton sekarang dirawat di rumahnya, masih terbaring tak sadarkan diri.

Kepulangan Dalton ini kemudian diikuti sejumlah kejadian supranatural yang mengganggu keluarga Lambert.

Pertama, Foster merasa Dalton berada di koridor tengah malam. Lalu, Renai merasa ada orang lain berjalan di dalam rumah, keanehan ketiga ketika menemukan cetakan telapak tangan bernoda darah membentuk cakar ditemukan di seprei, dan Renai diserang oleh pria di tengah malam membuat keluarga ini pindah rumah.
 
Film ini berhasil menciptakan ketakutan baik mata maupun telinga penonton. Bukan jenis slasher yang sering menghadirkan tokoh psikopat siap membunuh korban dengan keji.

Duo James Wan dan Leigh Whannell yang pernah bekerja sama dalam “SAW”, kali ini kembali berduet tanpa horor yang penuh ceceran darah, tetapi menantang penonton untuk berani membuka mata atau terpacu degup jantung karena kehadiran makhluk halus yang seram.  

Adegan pembukanya mengagetkan karena kehadiran sosok menyeramkan. Jalan cerita di awal masih menarik. Cerita berlatar pindah rumah dan ternyata rumah barunya ada ‘isi’ selalu menjadi racikan menarik untuk penyuka film horror. Hanya saja separuh film kemudian terasa basi, membosankan malah konyol.

Kehadiran kelompok cenayang yang mengingatkan penulis pada film ghostbuster, lalu paranormal yang menjelaskan bahwa jiwa Dalton mengembara tanpa tahu jalan pulang atau disebut The Further. Selama badan ‘kosong’ jiwanya berpotensi dimasuki roh/setan.

Memang yang harus diingat bahwa film horror Hollywood berbeda dengan film setan Indonesia. Masyarakat kita sudah terbiasa dengan tokoh hantu seperti kuntilanak, pocong, dan suster ngesot yang tinggal diolah untuk menjadi suatu cerita. Lihat saja judul-judul film layar lebar Indonesia yang belakangan ini muncul di bioskop, selalu menggunakan salah satu subyek tersebut lalu ditambahkan kata-kata lain yang bertujuan memancing rasa penasaran orang.

Sebaliknya film Hollywood selalu membutuhkan logika dalam kehadiran hantu dan cara memusnahkannya. Namun terasa tertatih dan akhirnya tujuannya cuma ‘memanjakan’ mata penonton untuk kaget dengan penampakan yang menyeramkan.

Termasuk juga Joseph Bishara berhasil menghadirkan musik yang bisa begitu pas bersama adegan demi adegan horor di film ini, membangun kengerian penonton. Meskipun ada embel-embel track record James Wan sebelumnya menggarap “SAW” dan “Paranormal Activity” tapi maaf, akhirnya, saya cuma memberi nilai 6 dari 10 untuk film Insidious secara keseluruhan. 



Let Me In

Pemain: Kodi Smit-McPhee, Chloe Moretz, Richard Jenkins
Sutradara: Matt Reeves
Penulis Skenario: Matt Reeves & John Ajvide Lindqvist
Waktu: 109 menit
(2010)


Di suatu malam hujan salju, di kota kecil New Mexico Amerika Serikat, sebuah ambulans bergerak secepat kilat menuju rumah sakit. Di dalam mobil petugas paramedis berusaha menyelamatkan seorang pasien yang terluka parah. Seluruh wajahnya rusak seperti terbakar.

Usaha penyelamatan berakhir tragis. Pasien bunuh diri dengan cara menjatuhkan diri dari jendela kamar perawatannya di lantai atas.

Frame film lalu berpindah pada malam hari dua minggu sebelumnya. Makan malam yang tegang antara ibu berambut pirang dan putranya. Ibu yang tengah dilanda depresi sementara anak tumbuh bermain sendirian. Anak beringsut ke kamarnya, meneropong kegiatan tetangga sekeliling dan perhatian terfokus ketika sebuah mobil berhenti. Seorang pria paruh baya dan putri perempuan belasan tahun keluar dari mobil dan datang menghuni unit kosong bangunan di tengah malam.  

Persahabatan kemudian terjalin antara anak laki-laki bernama Owen (Kodi Smit-McPhee) dengan si anak perempuan yang kemudian diketahui bernama Abby (Chloe Moretz) sesama berusia 12 tahun. Praktis Owen yang penyendiri dan korban bullying di sekolah menjadi akrab dengan Abby yang juga terasing.

Abby hanya muncul di tengah malam. Bertemu dan ngobrol dengan Owen di taman bermain di area rumah mereka.

Ternyata Abby di malam hari menjadi vampir dan harus minum darah manusia. Dan kondisi berubah ketika “ayah” menghilang dan Abby mencari sendiri mangsanya. Muncul pula polisi (Elias Koteas) yang menyelidiki kasus penemuan mayat bersimbah darah sebagai kemungkinan dilakukan oleh kelompok pemuja setan.

Film genre horor ini mengalir dengan gampang dicerna, tidak memusingkan penonton dengan jalan cerita yang membuat orang harus menebak-nebak. Eksplorasi cerita tentang makhluk penghisap darah memang seolah tidak habis-habis, dan kali ini dalam wujud anak perempuan cantik berwajah inosens. Lalu kita kaget ketika pada satu scene tampil wajah Abby yang lain. Sebagai makhluk penghisap darah. Sepintas wujud vampirnya mengingatkan kita pada bentuk Smeagol di film The Lord of the Rings, namun jelas lebih seram yang ini.

Selain itu film bukan pada efek menegangkan saja, tapi bangunan cerita yang kuat tentang kisah cinta dua anak beranjak remaja, dan Abby seperti umumnya gadis remaja yang hati-hati membuka jarak pada lawan jenis. Meskipun ternyata usianya sebagai vampir ratusan tahun.

Menurutku film ini bisa diberi nilai 7,5 dari total 10 untuk menjadi sebuah film horor pilihan.

Chloe Moretz pernah muncul sebagai anak terkecil dari keluarga Lutz yang tinggal di rumah berhantu dalam film The Amityville Horror (2005). Sedangkan Kodi Smit-McPhee  muncul dalam The Road (2009) menjadi karakter anak dari Viggo Mortensen yang kita kenal sebagai Aragorn di film The Lord of the Rings.

Cerita film ini diadaptasi dari novel berjudul “Let the Right One In” karya penulis Swedia dan sebelumnya sudah difilmkan di Swedia pada 2008.



Kamis, 02 Juni 2011

The Other Woman

Pemain: Natalie Portman, Scott Cohen, Lisa Kudrow, Charlie Tahan
Sutradara: Don Roos
Penulis Skenario: Don Roos dan Ayelet Waldman
Produser: Abby Wolf-Weiss, Natalie Portman, Rena Ronson  
Waktu: 112 menit
(2011)


Menjadi wanita idaman lain yang berhasil mendapatkan kekasihnya dari istri resmi, ternyata belum menjamin kehidupan indah terjalani. 

Pengacara muda Emilia Greenleaf (Natalie Portman) jatuh cinta kepada senior di kantor tempat dia bekerja, Jack Woolf (Scott Cohen). Dimulai dari perselingkuhan di kota lain saat mereka dinas bersama, berlanjut dengan kehamilan Emilia dan akhirnya mereka menikah.

Emilia kemudian melahirkan bayi perempuan dinamakan Isabel yang lahir pada tanggal 27 Desember dan meninggal 3 hari kemudian.

Emilia pun berubah menjadi ibu rumah tangga yang dingin, punya amarah terpendam, dan kasar. Kadang emosinya tiba-tiba meluap dan melampiaskannya pada putra tirinya William, anak kandung Jack bersama istrinya terdahulu Carolyn.

Kemudian ada kekisruhan relasi antara mantan istri dan istri baru. Jalan cerita beralur kilas balik. Penonton secara eksplisit bisa membandingkan pada sosok Emilia yang muda, cantik dan penuh semangat kemudian berganti menjadi Emilia saat ini yang lusuh, tegang dan hidup dalam kondisi berhemat.

Hampir satu jam pertama film berjalan lambat lalu penonton ikut terhanyut dalam kerumetan kehidupan keluarga dan relasi antara Jack-Emilia-William-Carolyn, juga relasi ayah-ibu Emilia yang telah bercerai.

Film yang diangkat dari novel berjudul “Love and Other Impossible Pursuits” karya Ayelet Waldman ini menyodorkan sebuah rahasia yang terbuka kepada penonton menjelang akhir cerita. 

Yang cukup menarik dalam film drama ini adalah sosok Lisa Kudrow sebagai Carolyn, dokter kandungan yang dingin, mapan, dan penuh amarah terhadap si perebut suami. Karakter ini diperankan Lisa dengan sangat baik. Berbeda 180 derajat dari karakter Phoebe di serial televisi Friends.

Sebuah film yang sarat drama keluarga, tempo lambat, dan hikmahnya bagi penonton –khususnya perempuan- mengenalkan bahaya yang bisa dialami bayi baru lahir. Ancaman Sudden Infant Death Syndrome (SIDS) atau sindrom kematian bayi secara mendadak. Waspada pula terhadap kecelakaan terhadap bayi saat disusui akibat dekapan ibu yang terlalu ketat.






Jumat, 08 April 2011

Menjadi Cantik, Gaya & Tetap Kaya

Penulis : Prita H. Ghozie, SE, MCom, CFP
Halaman : 320 halaman
Penerbit : PT Elex Media Komputindo – Jakarta (2010)


Seiring era modern yang memungkinkan wanita memiliki profesi dan bekerja di perusahaan, kini mereka punya uang sendiri dan berhak membelanjakan uang tersebut sesuka hati.

Tapi kelebihan ini kalau tidak dibarengi pengetahuan finansial, membuat wanita terjebak dalam pola hidup konsumtif dan utang. Rayuan belanja dan tampil gaya memang menjadi ”kelemahan” wanita karena sudah menjadi naluri dasar seorang perempuan ingin tampil cantik dan menarik.

Perencana keuangan Prita H. Ghozie mengatakan tradisi masyarakat, khususnya negara timur, secara tidak sadar mengarahkan anak perempuan menjadi pembelanja. Contohnya: menemani ibu ke pasar atau arisan.

Padahal kondisi tubuh manusia akan berubah seiring bertambahnya usia. Harus kita sadari ada usia produktif (mencari uang) dan usia pensiun (saat menikmati hasil investasi dari uang yang dikumpulkan saat usia produktif). Selain itu harus sadar bahwa perempuan memiliki harapan hidup lebih panjang daripada pria.

Prita mengatakan untuk cantik, tidak hanya fisik. Kondisi keuangan pun akan mempengaruhi ’kesejahteraan’ Anda untuk senantiasa tampil cantik. Dia memaparkan  ’resep cantik’ yang terdiri dari 9 bab. Intinya supaya wanita modern selain mampu menghasilkan uang, juga handal dalam mengelola keuangan, lepas dari jerat utang, dan mengetahui investasi keuangan tanpa mengorbankan kebahagiaan pribadi maupun keluarga.

Buku perencanaan keuangan pribadi mungkin sudah banyak Anda temukan di toko buku belakangan ini.

Namun buku ini menjadi menarik karena khusus ditujukan kepada wanita. Selain itu tulisan berwacana lokal karena buku setebal 320 halaman ini ditulis oleh perempuan Indonesia sendiri sehingga terasa lebih sesuai dengan masalah yang dihadapi masyarakat disini.

Prita memaparkan dalam bahasa sederhana, meski kadang terjebak dalam bahasa lisan, seolah berdialog langsung dengan pembaca, namun pemaparan cukup gampang dicerna dan mengalir. Ia menggunakan contoh-contoh kasus dan mengutip beberapa pertanyaan yang pernah mampir ke rubrik konsultasi keuangan ia kelola di  tabloid Wanita Indonesia.

Kertas kerja untuk pengisian daftar kekayaan bersih, arus kas, atau pendapatan yang kita inginkan kontra realitas (maunya versus kenyataan) cukup menampar saya sebagai pembaca untuk berani menghitung pendapatan, pengeluaran, utang, kemudian berpikir tentang tabungan masa depan dan perencanaan keuangan pribadi.

Sayang, hingga buku ini habis rasanya contoh kasus kebanyakan seputar wanita dengan gaji Rp 5 juta ke keatas, gandrung spa atau tahu tas bermerek premium.

Padahal masih banyak wanita pekerja di Indonesia punya pendapatan sebesar Upah Minimum Regional dan bergelut di masalah yang sama: jeratan sale dan belanja konsumtif , namun ingin cerdas mengolah penghasilan yang berkejaran dengan angka inflasi, sekaligus sejahtera meski telah pensiun.

Sebagai patokan, Upah Minimum Regional (UMR) DKI Jakarta pada 2009 sebesar Rp 1.069.865,00 per bulan.  

Terlepas dari kritik diatas, buku ini cukup menarik dibaca dan menjadi satu referensi bagi kaum perempuan. Mulai dari wanita lulus kuliah yang baru terjun ke ke dunia kerja serta memperoleh penghasilan, ibu rumah tangga pengatur keuangan keluarga, ataupun single ladies yang ingin punya hari tua nyaman dan mapan. 

Senin, 07 Maret 2011

Wimbledon

Pemain: Paul Bettany, Kirsten Dunst, Sam Neill
Skenario: Adam Brooks, Jennifer Flackett, Mark Levin
Sutradara: Richard Loncraine
(2004)




Peter Colt (Paul Bettany), petenis profesional asal Inggris sudah kehilangan ambisinya. Di usia ke-31 tahun, dan turun dari rangking 11 ke 119 dari seluruh dunia, dia memutuskan akan menjadikan Wimbledon kali ini sebagai turnamen terakhir sebelum pensiun.

Ia sudah menyiapkan diri menjadi pelatih tenis disebuah klub elit.

Di saat yang sama, Lizzie Bradbury petenis muda asal Amerika Serikat baru pertama kali tampil di ajang Wimbledon dan haus kemenangan.

Lalu kejadian tidak sengaja mempertemukan Peter dan Lizzy. Peter salah masuk kamar hotel, dia memasuki kamar 1221 tempat Lizzy menginap. Kisah cinta pun mengalir diantara mereka bersamaan dengan penampakan sebuah komet.dalam hitungan dua minggu.

Sebenarnya Lizzy pernah melihat Peter di salah satu turnamen dan menjadi kebahagiaan tersendiri ketika dirinya punya kesempatan berkenalan.

Tapi halangan terjadi dari ayah Lizzy, Dannis Bradbury (diperankan oleh Sam Neill) yang overprotektif. Perasaan kasmaran menjadi semangat Peter mengejar kemenangan, namun hal sebaliknya terjadi pada Lizzy.

Sebuah hiburan ringan untuk melewatkan istirahat akhir pekan. Tak perlu karakter kompleks, atau kisah yang njlimet. Walaupun disayangkan akting Kirsten Dunst terasa datar. Kurang terlihat gejolak emosi sebagai Lizzy yang temperamental di lapangan berubah menjadi daddy’s little girl lalu bagai gadis remaja jatuh cinta.

Satu lagi menariknya film ini. Kalau Anda memang senang menonton pertandingan tenis, film ini mampu mengadopsi ketegangan menyaksikan kompetisi secara nyata.

Jika terasa seperti film Notting Hill (1999), Tim Bevan dan Mary Richards memang produser yang sama dengan film yang dibintangi Julia Roberts dan Hugh Grant. Si pria asal Inggris Raya sementara si wanita dari Amerika Serikat, kisah cinta rahasia yang kemudian terkuak oleh media, ada karakter naïf dimunculkan oleh adik Peter, Carl (James mcAvoy) sedangkan dalam Nothing Hill dari teman satu apartemen William Thacker, karakter utama yang diperankan oleh Hugh Grant.