Selasa, 11 Oktober 2011

Season of the Witch

Pemain: Nicolas Cage, Ron Perlman, Stephen Campbell Moore, Claire Foy, Christopher Lee
Sutradara: Dominic Sena
Skenario: Bragi F. Schut
Waktu: 109 menit
(2011)



Behmen of Blabrik (Nicolas Cage) dan Felson (Ron Perlman)  adalah dua sahabat prajurit desertir dari perang Salib. Dan dalam pengembaraan selama sebulan mereka ‘terdampar’ di Smyrna. Ternyata telah terjadi wabah sampar selama 3 bulan termasuk menimpa Kardinal setempat.

Seorang wanita yang tidak diketahui namanya dituduh sebagai penyihir dan menimbulkan wabah ini sejak dia datang ke kota. Wanita itu harus dibawa ke Abby of Severak. Disana wanita itu akan menjalani prosesi pengadilan. Pengadilannya pun bukan oleh hakim, jaksa sebagaimana umumnya, tapi dengan menjalani semacam prosesi doa atau penyucian jiwa dengan membaca Book of Solomon untuk membuktikan dirinya penyihir atau bukan.

Kitab Solomon adalah buku yang digunakan dalam ritual pembuktian penyihir atau pembasmian orang yang kerasukan setan (exorcism).

Behmen dan Felson pun diminta Cardinal D’Ambroise untuk melakukan perjalanan ke Severak. Dalam perjalanan mereka ditemani oleh ksatria Eckhart, pendeta Debelzaq dan orang hukuman Hagamar sebagai penunjuk jalan. Anak altar, Kay, yang bermimpi menjadi ksatria kemudian ikut bergabung.

Perjalanan memakan waktu 6 hari, dapat dikurangi setengahnya jika melintasi Hutan Wormwood. Namun hutan angker itu punya cerita tentang orang-orang yang masuk ke dalam hutan dan tidak pernah kembali.

Untuk mencapai destinasi, mereka mengalami petualangan yang tidak bisa diterima akal. Sosok wanita tertuduh sebagai penyihir yang belakangan diketahui bernama Anna pun membuat orang terombang-ambing dalam rasa iba, tidak percaya atau malah memang setan.

Film ini bergaya horror dengan balutan sejarah. Latar cerita terjadi pada abad ke-14 ketika belahan Eropa percaya adanya wanita-wanita tukang tekung atau penyihir. Cara masyarakat menghukum seorang wanita yang dituduh sebagai penyihir menjadi pembuka film. Bertempat di kota Villach pada tahun 1235 setelah Masehi, tiga wanita akan dihukum dengan dililit tali dan dijatuhkan ke bawah jembatan. Badannya terbenam di air sungai yang mengalir di bawah jembatan.

Tak berhenti sampai disitu, kemudian tubuh wanita yang dihukum tadi harus ditarik kembali ke permukaan untuk dilakukan ritual doa dengan menggunakan kitab Solomon (Book of Solomon).

Ternyata setan turun ke bumi untuk menyingkirkan buku kitab tersebut agar bisa menguasai bumi dan meliputinya dengan kegelapan.

Jalan cerita mengalir rapi, dan memasukkan unsur sejarah. Perang Salib yang berlarut-larut, yang terjadi antara 1095-1291, memunculkan problem ekonomi, penyakit dan pertentangan batin. Antara kebenaran agama versus kenyataannya kebanyakan korban adalah masyarakat tak berdosa, termasuk wanita dan anak-anak.

Hanya saja kesalahan fatal film ini adalah geografi. Seperti dikutip dari situs IMDb, seperti Coast of Styria yang kini masuk dalam wilayah Austria tidak memiliki garis pantai. Demikian pula jika maksudnya Styria di Inggris. Lalu ajang pertempuran di Gulf of Edremit berada di sebelah barat bagian utara Anatolia (West-Northern Anatolia) bukan padang pasir tapi justru kaya tumbuhan hijau.

Kesimpulannya, tidak perlu jadikan film ini rujukan sejarah. Nikmati saja filmnya J
Film ini bisa masuk ke dalam horror exorcism atau kemasukan setan, dimana efek visual tampil rapi.


Minggu, 09 Oktober 2011

Monte Carlo

Pemain: Selena Gomez, Leighton Meester, Katie Cassidy
Sutradara: Thomas Bezucha
Skenario: Thomas Bezucha, April Blair
(2011)


Ringan, dangkal, tapi cukup menghibur. Ini komentar yang bisa dikatakan usai menonton Monte Carlo.

Tokoh sentral film ini adalah gadis 18 tahun asal Texas AS, Grace Bennett (diperankan oleh Selena Gomez) yang punya impian melakukan perjalanan ke Paris. Untuk merealisasikan mimpinya, dia bekerja sebagai part-timer di restoran dan menabungkan tips yang ia peroleh ke dalam toples kaca bertuliskan, “Grace’s Fund for Paris”.

Mimpi ini menjadi kenyataan ketika dia memperoleh hadiah kelulusan dari ayahnya (Brett Cullen). Bahkan sang ayah membayari perjalanan bertiga, yaitu kakak tirinya Mary Margaret “Meg” Kelly-Bennet dan Emma Perkins (Katie Cassidy).

Emma teman kerja Grace di kafe, tapi sekaligus rekan satu sekolah sang kakak tiri, Meg. Bedanya Meg melanjutkan sekolah sedangkan Emma siswa DO demi mengejar karir sebagai model (meski gagal). Bisa ditebak perjalanan ini menjadi ‘panas dingin’ karena ketidakakuran saudara tiri dan mantan teman satu sekolah.

Lalu tidak sengaja mereka ketinggalan bis rombongan saat berhenti di Menara Eiffel. Pengejaran bis yang sia-sia, tersesat, menghindari hujan lebat, membuat mereka masuk ke dalam hotel mewah.

Tidak disangka di dalam hotel mewah itu ada Cordelia Winthrop-Scott (diperankan juga oleh Selena Gomez) putri pewaris kaya asal Inggris yang harus terbang ke Monte Carlo demi acara amal.

Kemiripan wajah Grace dengan Cordelia, menimbulkan kesalahpahaman petugas hotel. Lalu upaya menghindari paparazzi membuat mereka masuk ke mobil mewah yang mengantarkan mereka ke bandara dimana jet pribadi siap menerbangkan mereka ke ibukota Monako itu.

Selama beberapa hari hingga menuju puncak acara lelang amal yang berlangsung Jumat, mereka harus menutupi rahasia, terutama menghindari sikap awas dari Tante Alicia yang juga hadir dalam perhelatan. Ketika ketahuan, tante itu malah mengira Cordelia menyewa wanita berwajah mirip agar dirinya bebas berpesta.

Adapula selipan kisah cinta antara Grace dengan Theo yang diperankan aktor remaja asal Perancis, Pierre Boulanger, pembuktian cinta sejati antara Emma dan pacar Texas-nya, Owen, dan penemuan cinta antara Meg dan Riley.

Ide film ini berdasarkan novel berjudul Headhunters karya Jules Bass. Dalam cerita novel mengangkat kisah empat wanita tengah baya asal Texas yang bergaya seperti wanita kaya pewaris harta untuk mendapatkan suami potensial di Monte Carlo. Di ibukota Monako itu, mereka bertemu empat gigolo yang berpura-pura sebagai playboy kaya.

Namun saat diangkat ke layar lebar, tokoh-tokoh kemudian dibuat lebih muda.

Syuting berlokasi di Budapest (Hungaria), Paris (Perancis) dan Monako. Namun sayang sepertinya penonton tidak menangkap greget keindahan kota-kota Eropa. Hanya sejumlah scene cepat dari satu lokasi berpindah ke lokasi lain. Apalagi berharap jelajah mata terpuaskan karena menikmati keindahan Monte Carlo yang menginspirasi judul film.

Film ini pun tidak menjanjikan kondisi seperti Sex n the City dengan parade busana cantik membalut para tokoh sentral. Gaya Cordelia yang ‘tua’ malah sepertinya tidak pas dengan pencitraan posisi heiress yang doyan pesta dan berbalut gosip skandal. Selena Gomez kepayahan membentuk citra Cordelia yang jadinya tua, aksen bahasa yang aneh sekaligus wajah ga jelas bak tokoh antagonis dalam sinetron Indonesia.

Konflik antara kakak-adik masih jauh lebih menarik menonton “From Prada to Nada” atau “In Her Shoe”.

Di bagian akhir film berdurasi 109 menit terjadi kelanjutan kisah cinta masing-masing gadis ini. Grace menjadi sukarelawan di Rumania dan bertemu kembali dengan Theo. Emma bertunangan dengan Owen. Dan Meg mencapai puncak Machu Picchu bersama Riley. Ia menjadi lebih lepas, tidak penuh pertimbangan dan kaku.
She’s allready 20 (over 18) and responsible by herself. Tapi ini film remaja dan menyodorkan ide liburan berbulan-bulan, lintas negara, dengan pacar yang belum resmi menikah? Hmmm…. Kenapa agak mengganjal di hati ini?

Lagu-lagu soundtrack juga cukup up-beat enak di kuping, termasuk “Who Says” yang dinyanyikan Selena Gomez. Liriknya mengajak kita menjadi diri sendiri.

Secara keseluruhan film ini masih layak tonton, terutama di saat Anda ingin menghabiskan liburan akhir pekan membuang penat. Karena film ini memenuhi kebutuhan dasar hasil dari menonton film: cukup menghibur dan ringan.