Pemain: Iko Uwais, Ray Sahetapy, Pierre Gruno
Sutradara: Gareth Huw Evans
Produser/Produksi : Ario Sagantoro/PT Merantau Films
Tayang di Indonesia : Maret 2012
Aksi martial art
dalam gerakan cepat, tembak-tembakan, darah berceceran, dan film Indonesia.
Ini menjadi benang merah yang dapat Saya simpulkan usai menonton film The Raid.
Ya. Film bergenre action di tanah air lumayan jarang. Dan
kalaupun ada yang berniat membuatnya, mungkin bakal terjebak dalam kompromi
pasar. Takut tidak laku maka akan memasang artis-artis cantik berbalut busana
minim, slapstick atau jalan cerita
serba kebetulan.
Tapi The Raid jauh dari hal tersebut. Bahkan kalau dihitung
jumlah perempuan yang hadir hanya dua orang,
masing-masing wanita muda tengah hamil besar dan ibu paruh baya tengah
sakit-sakitan terbaring di ranjang.
Garis besar jalan cerita tentang misi sebuah pasukan khusus,
sebut saja sebagai SWAT (Special Weapon and Tactics) yang di Amerika Serikat
menjadi pasukan elit kepolisian dan telah dikenal istilahnya secara
internasional, menyerbu blok apartemen tak terurus, tempat Tama (Ray Sahetapy) bandar
narkoba bersarang. Tempat tersebut
dijaga ketat dan memiliki banyak penjahat yang siap bertempur habis-habisan
untuk mempertahankan kenyamanan wilayahnya.
Terjebak di lantai 6 tanpa komunikasi dan diserang oleh
penghuni apartemen yang diperintahkan oleh Tama, membuat tim SWAT harus berjuang melewati setiap lantai agar
bisa menyelesaikan misi dan bertahan hidup.
Di balik tugas menyelesaikan misi utama ini, terselip cerita
pengkhianatan dan kebobrokan aparat yang sudah cukup familiar di dalam dunia
nyata. Kongkalikong bos penjahat dengan aparat. Serta terselip pula reuni
kakak-adik.
Saat pasukan khusus menyerang, bak video game aksi yang mengharuskan setiap lantai dilewati dengan pertarungan hidup mati. Untuk berhasil keluar dari gedung apartemen, mereka harus mencapai lantai paling atas dan di setiap lantai menghadapi penjahat yang siap menghunuskan parang, golok, pisau, atau
menggunakan senjata api laras pendek dan panjang. Jika Jaka dkk berhasil
mencapai lantai paling atas berarti sekaligus menangkap gembong narkoba Tama.
Aksi laga di film ini memancing sejumlah pujian dari
kritikus film luar negeri. Film ini juga berhasil menyabet penghargaan Midnight
Madness di ajang Toronto International Film Festival 2011. Selain itu diputar
di festival Sundance Film Festival, dan penggarapan musik untuk peredaran di
Amerika Serikat dibuat oleh Mike Shinoda
dari Linkin Park.
Meskipun di berbagai ulasan disebutkan bahwa dasar aksi laga
di dalam film ini berbasiskan pencak silat, namun saya pribadi awam terhadap gerakan
olah pertahanan tubuh asli negeri sendiri ini, yang konon berasal dari suku
bangsa Melayu nusantara. Selama ini indra penglihatan saya dimanjakan oleh aksi martial art ala film Hong Kong/Cina. Jadi saya asumsikan gerakan bela diri yang khas Indonesia itu, terlihat melalui kuda-kuda atau
menapakkan kaki untuk memperkokoh posisi tubuh, teknik pukulan tangan yang
cepat dan jarka dekat dalam tarung antara dua orang, atau teknik mengunci lawan supaya tidak
berdaya.
Film yang ditetapkan label D (Dewasa) memang tepat adanya
karena aksi sadis yang kadang mencekam, berdarah-darah, dan kata “Anjing” yang bertabur
di sepanjang film. Namun tepat jika kita
ucapkan salut atas ide ceritanya.