Film Laskar Pelangi merupakan adaptasi dari novel berjudul sama, karya Andrea Hirata yang dibuat berdasar kisah nyata kehidupan masa kecilnya. Dalam film ini, tokoh utama, bocah bernama Ikal, merupakan personifikasi dari Andrea kecil.
Banyak orang bilang, film ini merupakan potret buram dunia pendidikan di Indonesia. Terus terang, menonton film ini, saya sama sekali tidak menyalahkan pendapat mereka.
Cerita Laskar Pelangi dimulai dengan narasi dari Ikal dewasa yang diperankan oleh Lukman Sardi. Di sini, Ikal dewasa menceritakan tentang satu masa―rasanya tidak salah kalau saya sebut masa itu sebagai tipping point dalam hidup Ikal―yang mengubah hidupnya. Belitong di tahun 1974, hari pertama ia masuk ke sekolah dasar.
SD Muhammadiyah Gantong, SD Islam tertua di daerah Belitong, adalah satu-satunya sekolah yang bisa dituju oleh kaum miskin di Belitong. Maklum, sekolah ini dibuka untuk mereka secara cuma-cuma. Para orangtua bebas menukar pendidikan anak-anaknya dengan berasa.
Pak Harfan (Ikranagara) dan Bu Muslimah (Cut Mini) adalah dua pahlawan di SD Muhammadiyah. Mereka rela mengabdikan diri mereka demi pendidikan anak-anak miskin di Belitong. Bagi mereka, siapapun berhak mengenyam pendidikan, tak terkecuali anak-anak tak punya.
Di hari pertama pendaftaran sekolah, Pak Harfan dan Bu Mus merasa was-was. Pasalnya, jika tak mampu mengumpulkan minimal 10 orang siswa, SD tersebut akan ditutup. Di sini, tokoh Harun, anak abnormal berusia 15 tahun, keluar jadi tokoh penyelamat. Harus adalah anak ke-10 yang datang ke sekolah itu untuk mendaftar sebagai murid. Itulah awal persahabatan dari 10 anak miskin yang kemudian dijuluki oleh Bu Mus sebagai “Laskar Pelangi”, yakni Ikal (Zulfanny), Mahar (Verry S. Yamarno), Lintang (Ferdian), Kucai (Yogi Nugraha), Syahdan (M. Syukur Ramadan), A Kiong (Suhendri), Borek (Febriansyah), Harun (Jeffry Yanuar), Trapani (Suharyadi Syah Ramadhan), dan Sahara (Dewi Ratih Ayu Safitri).
Dalam film berdurasi 125 menit ini, karakter masing-masing tokoh jelas tidak mungkin untuk ditampilkan secara utuh. Karakter Lintang, anak nelayan yang sangat miskin, yang sebenarnya menjadi inti dari cerita ini―contoh paling penting yang mewakili kaum miskin yang tersingkir―pun kurang diangkat. Makanya saya beri tips untuk teman-teman yang pengin menonton (atau sudah menonton) film ini (dan kecewa): jangan bandingkan film ini dengan novel aslinya. Keduanya, menurut saya, sama-sama bagus. Pada intinya, pesan yang ingin disampaikan Andrea dalam novelnya sudah disampaikan oleh Riri lewat film ini. Laskar Pelangi mengajak kita memandang kemiskinan dengan cara lain, bukan sebagai sesuatu untuk ditangisi, tapi cambuk semangat untuk meraih asa. Itu dibuktikan dari suksesnya Ikal mencicip pendidikan di Universitas Sorbonne di Paris.
Nilai film ini makin bertambah karena juga menyuguhkan keindahan alam Belitong. Akhir kata, saya sendiri hanya penggemar buku dan film, bukan kritikus. Saya hanya berusaha menikmati apa yang saya baca dan tonton. Dan sejauh ini, saya suka keduanya, baik buku maupun film Laskar Pelangi.
Foto diambil dari laskarpelangithemovie.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
'lam knal sblomnya,,
q baru z slesae bca bkux laskar plangi,,
bgus juga mnurutq,,
tp q blom leat filmnya,,
cz blom nyampe d sini,,
d ponorogo,,
tp hbiz bca postingan d atas,,
kayakny filmny juga prlu d tonton nie,,
Posting Komentar