Minggu, 24 Agustus 2008

Citizen Brand



10 Perintah untuk Mentransformasikan Merek dalam Demokrasi Konsumen

Penulis : Marc Gobé
Penerbit : Penerbit Erlangga
Terbit : 2001
Tebal :298 halaman + xiii


Era teknologi informasi (TI) yang mendorong derasnya arus informasi, membuat orang dengan gampang mencari tahu seputar produk atau jasa yang mereka butuhkan. Tinggal mengakses internet dan mengaktifkan situs pencarian. Selain itu, konsumen semakin kritis karena semakin variasinya pilihan produk.

Oleh karenanya, produsen perlu menyadari bahwa konsumen bukan lagi sekadar mendapat fungsi dari sebuah produk/jasa. Lebih dari kebutuhan akan fungsi suatu barang, mereka (konsumen) perlu ditempatkan sebagai masyarakat yang tertarik untuk membeli pengalaman emosional.

Maka timbullah kebutuhan penciptaan merek yang juga menyentuh sisi emosi konsumen. Marc Gobé, pendiri, Presiden, CEO dan Executive Creative Director Desgrippes Gobé Group, perusahaan pencipta citra merek, menggagas ide ini dengan istilah Emotional Branding.

Emotional Branding ini dibahas Gobé dalam satu buku. Dan meneruskan konsep ini, Gobé merilis ”Citizen Brand” dimana Ia memaparkan dalam dunia emotional branding, konsumen yang demokratis, maka merek suatu produk/jasa menjelma dalam citizen brand. Ketika bermain pada citizen brand, maka produsen memasukkan identitas emosional (emotional identity = E.I.). Beberapa contoh merek yang telah berhasil membangun EI ini adalah Sony untuk ”inovasi” , atau Apple yang menyimbolkan ”desain dan aksesbilitas”. Merek-merek itu sudah menerapkan konsep citizen brand dan telah berhasil memasukkan bahwa produknya tidak hanya diperlukan karena fungsionalitas.

Merek atau perusahaan juga dituntut mengambil peran nyata dalam dunia modern. Bagaimana serangan 9/11 menarik simpati dunia. Termasuk pula gerak cepat perusahaan untuk turun langsung meringankan kejadian yang dianggap sebagai salah bentuk duka di abad-21. Contohnya, perusahaan asuransi Allstate menghabiskan sejumlah uang untuk membayar iklan yang memberikan jaminan kepada klien bahwa klaim mereka akan dipenuhi secepatnya, meminta orang-orang tanpa ragu untuk mengontak mereka, serta menyiapkan meja informasi khusus. Ini salah satu bukti nyata, bahwa perusahaan turut berperan dalam menciptakan dunia yang lebih baik.

Avon, perusahaan kosmetik dengan sistem MLM, memiliki kampanye jalan kaki di seluruh dunia untuk mendukung upaya menyembuhkan kanker payudara. Para perempuan tentu merasa bahwa kosmetik yang mereka beli tidak cuma ’menarik’ uang mereka, namun peduli terhadap mereka.

The Body Shop tidak mempraktekkan filantropi, melainkan terlibat aktif, dari perspektif bisnis, untuk membuat dunia yang lebih baik. Brand asal Inggris yang terkenal sebagai aktivis anti melibatkan binatang dalam percobaan laboratorium untuk pembuatan produk, serta membeli langsung dari pabrik-pabrik kecil dan pengrajin sebagai kebalikan dari membeli secara tidak langsung melalui pabrikasi massal.

Meskipun konsumen senang dengan kepedulian mereknya terhadap perbaikan masyarakat dan dunia, konsumen lebih menyukai aktivitas yang sejalan dengan bisnis inti perusahaan. Dalam suatu jajak pendapat menghasilkan opini bahwa masyarakat senang jika perusahaan peduli terhadap kegiatan berkaitan dengan pendidikan publik, kriminalitas dan lingkungan. Namun, konsumen saat ini yang cerdas, khususnya generasi Y yang kini memasuki usia produktif kerja dan menghasilkan uang, juga semakin kritis untuk ”mencium” upaya-upaya pemolesan. Kondisi ini, seperti dicontohkan Gobe, rawan terjadi terhadap kegiatan yang disponsori oleh rokok yang bisa saja disalah artikan sebagai upaya ’cuci tangan’ atau upaya membersihkan diri dari isu kesehatan yang menyudutkan perusahaan tembakau.

Nah! Gobe dalam buku Citizen Brand ini mengemukakan ” 10 Perintah untuk Mentransformasikan Merek dalam Demokrasi Konsumen” yaitu :

Perintah 1 : Berevolusilah dari konsumen ke masyarakat (fokus bab tentang tren konsumen/demografi)

Perintah 2 : Berevolusilah dari kejujuran ke kepercayaan (fokus bab : cause marketing)

Perintah 3 : Berevolusilah dari produk ke pengalaman (fokus bab : ritel/lingkungan merek)
Perintah 4 : Berevolusilah dari kualitas ke preferensi (fokus bab : pengembangan produk)

Perintah 5 : Berevolusilah dari kemasyhuran ke aspirasi (fokus bab : periklanan)

Perintah 6 : Berevolusilah dari identitas ke kepribadian (fokus bab : identitas perusahaan)

Perintah 7 : Berevolusilah dari fungsi ke perasaan (fokus bab : desain sensorik)

Perintah 8 : Berevolusilah dari ubikuitas ke eksistensi (fokus bab : inisiatif kehadiran merek)

Perintah 9 : Berevolusilah dari komunikasi ke dialog (fokus bab : internet..) Dalam bab ini, Gobe menyarankan perusahaan untuk memanfaatkan internet sebagai salah satu media ruang iklan.

Perintah 10 : Berevolusilah dari pelayanan ke hubungan (fokus bab : layanan konsumen)

Yang harus diingat, bahwa penciptaan emotional branding tidak hanya upaya penciptaan citra keluar. Melainkan, bahwa semua ini bermula dari perusahaan itu sendiri.

Seperti dikemukakan oleh Howard Schultz, CEO Starbucks dan seorang inovator dalam emotional branding, mengatakan, ”Merek harus dimulai dari budaya perusahaan dan ditularkan secara alamiah kepada pelanggan.... jika kita ingin mendapatkan kepercayaan dari pelanggan, maka pertama-tama kita harus mendapat kepercayaan dari karyawan kita sendiri.” (Halaman 61)

Ucapan Schultz ini direalisasikan dalam penawaran hak untuk membeli saham dan tunjangan kesehatan kepada para karyawan paruh waktunya.

Sementara Nucor, perusahaan baja, memberikan beasiswa untuk pendidikan di perguruan tinggi senilai US$2500 setiap tahun untuk setiap anak karyawannya, dan tidak pernah mem-PHK karyawan di masa resesi. Hanya mengurangi jam kerja, dan mengurangi perjalanan. Nucor pun menginspirasikan diri sebagai perusahaan yang menghargai pekerjanya dengan mencantumkan daftar 7.500 karyawannya dalam laporan tahunannya. Gagasannya : perusahaan adalah sebuah organisme hidup, tersusun dari dan sangat dipengaruhi oleh orang-orang yang bekerja di dalamnya lebih dari yang kita sadari (halaman 63).

Dalam membaca buku ini saya tidak menerapkan konsep scheming. Praktisnya, membaca buku non fiksi adalah pertama mencek ”Daftar Isi” untuk mengetahui pembahasan buku. Melalui cara ini, pembaca tahu apa yang paling dibutuhkan, dan bacalah yang memang menarik/penting. Akan tetapi, saya membaca buku ini dari awal. Dan pada permulaan saya tertatih-tatih untuk membaca buku ini dari halaman mula.

Tulisan memiliki ukuran font yang kecil dan rapat antar baris. Selain itu, terjemahan yang kadang bikin saya berulang kali membaca untuk mencerna lebih takzim. Hanya saja, begitu memasuki ”10 Perintah Gobe” yang diuraikan dalam bab terpisah, paparan berlangsung menarik. Dalam setiap bab juga dilengkapi dengan contoh iklan/studi kasus. Secara keseluruhan, buku ini menyajikan ulasan yang cukup menarik bagi Anda yang tertarik atau terjun di dunia marketing, advertising dan sebagainya.

Jumat, 01 Agustus 2008

Street Kings




Produksi : 2008
Pemain : Keanu Reeves, Forest Whitaker, Hugh Laurie
109 menit


Setelah beberapa lama tidak nonton di bioskop, akhirnya beberapa waktu lalu saya menonton “Street Kings”. Film yang cukup bagus ketika di waktu bersamaan pilihan lain di cineplex seputar film Indonesia yang tidak jauh-jauh dari horror atau komedi cendrung porno.

Selain itu, kita bisa menyaksikan wajah Keanu Reeves yang masih seganteng seperti 10 tahun lalu ketika bermain dalam film Speed (ups, jangan-jangan dia suntik Botox hehehe....). Sekaligus juga karakternya kali ini lebih membumi ketimbang Neo (trilogi Matrix), atau detektif supernatural John Constantine dalam film berjudul sama (Constantine).

Alur cerita film bergenre action ini memang standar. Keanu Reeves berperan sebagai Tom Ludlow, detektif LAPD yang mencari penyebab kematian mantan partnernya Terrance Washington (Terry Crews).

Namun tunggu dulu! Ludlow sendiri bukan jenis penegak hukum yang bersih. Selain sering melanggar prosedur, Ludlow juga tukang mabuk. Dan kinerjanya yang bagus –tapi sekaligus banyak pelanggaran- selalu ditutupi sang bos, Jack Wander (Forest Whitaker).

Persahabatan dan kemitraan dengan Washington yang lurus, terpecah karena kontradiksi keduanya.

Kematian Washington di minimarket yang seolah kasus perampokan, memicu rasa ingin tahu dari Ludlow. Dalam membuka kasus penyebab kematian mantan rekan, Ludlow dibantu oleh detektif muda, Paul Diskant. Langkah ini menyeret dirinya ke mafia narkotika, dan bahkan ke teman-temannya di kepolisian.

Dari awal kita bisa menebak bahwa kapten dan rekan-rekan Ludlow berada di belakang semuanya. Hanya saja, ternyata ada kejutan-kejutan lain di belakangnya.

Film ini memotret polisi kotor, ketika menggunakan ‘aib’ orang sebagai alat pemerasan, atau menyalah gunakan jabatan dan kuasa demi mewujudkan ambisi pribadi. Hmm.. suatu gambaran yang bisa terjadi di negara mana saja dan bagi siapa saja bukan?

Film yang cukup menarik bagi pecandu film action. Bahkan cenderung sadis dan pada beberapa scene terucap kata-kata makian yang kasar. Namun, sayang di bagian terakhir cerita terasa kedodoran. Akan tetapi, secara keseluruhan film yang disutradarai David Ayer ini not bad untuk ditonton.

Btw, si Keanu Reeves dalam film ini tampak kalah ganteng dengan detektif Diskant yang diperankan oleh Chris Evans. Haha.. memang muka baru selalu lebih segar!