Senin, 27 Oktober 2008

Dilbert and the Way of the Weasel

Penulis: Scott Adams
Tebal: 350 halaman
Penerbit: Boxtree (2003)

“To err is human. To cover it up is weasel.” (Scott Adams)

Saya suka sekali komik strip Dilbert karya Scott Adams. Menurut saya, lewat komik itu, Adams bisa menyampaikan analisanya terhadap dunia kerja dan kantoran dengan sangat baik. Menghibur, sekaligus membuat orang berpikir.

Dalam buku Dilbert and the Way of the Weasel, kita bisa mempelajari banyak gelagat “musang” di dunia kerja. “Musang-musang” itu bisa jadi atasan, bawahan, atau rekan kerja kita.

Lewat buku ini, Adams mengajak kita untuk mempelajari teknik musang untuk menghindari pekerjaan, kelihatan lebih baik di depan rekan kerja (meskipun sebenarnya kinerja kita tidak lebih baik), menyembunyikan ketidakmampuan kita dalam bekerja, dan melatih orang untuk jadi robot yang bisa kita kendalikan dengan remote control. Haha, keren kan?

Ketololan-ketololan dalam praktik manajemen dipaparkan oleh Adams dalam bukunya ini. Berikut contoh percakapan di ruang rapat dalam rupa komik strip, di buku ini.

CEO: Profits are down. Our senior management blames the weak economy.
Dilbert: So they're saying that profit went up because of great management and down because of a weak economy?
CEO: These meetings will go faster if you stop putting things in context.
Dilbert: Sorry...

Buku ini pas untuk para karyawan yang sering merasa dimanfaatkan oleh rekan, atasan, atau perusahaan tempatnya bekerja. Semua teknik musang dibahas dalam buku ini. Lucu, pedas, dan cerdas.

Gambar diambil dari www.bookreporter.com

Chicken with Plums

Penulis: Marjane Satrapi
Tebal: 88 halaman
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama (2008)

Satu lagi novel grafis karya Marjane Satrapi diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, setelah “Embroideries” alias “Bordir”. Judulnya “Chicken with Plums”. Saya termasuk penggemar Marjane. Menurut saya, karya-karyanya sederhana, berani, humoris, dan menyentuh. Satu karya fenomenal Marjane, “Persepolis”, bahkan sudah difilmkan dalam format animasi.

Dalam Chicken with Plums, Marjane berkisah tentang kehidupan tragis paman dari ibu Marjane, Nasser Ali Khan. Kisah ini bersetting di Teheran, Iran, tahun 1958. Nasser Ali adalah seorang musisi tar terbaik di Iran, yang mendedikasikan hidupnya untuk musik dan cinta.

Dalam hal percintaan, Nasser Ali bisa dibilang kurang beruntung. Ayah dari Irane, perempuan yang dicintainya, menolak lamaran Nasser Ali untuk jadi suami anaknya. Alasannya, bagaimana mungkin seorang musisi bisa menghidupi anaknya?

Nasser Ali patah hati, dan akhirnya menikahi Nahid. Nahid ini sudah jatuh cinta dengan Nasser sejak ia berusia 8 tahun. Saat itu Nasser berusia 15 tahun. Adalah ambisi Nahid untuk menikahi Nasser Ali. Sayangnya, rumah tangga mereka, yang dikarunia 4 orang anak, ternyata tak berjalan mulus.

Hidup Nasser Ali makin nelangsa sejak tar kesayangannya rusak, dipatahkan oleh Nahid yang merasa kesal karena suaminya hanya peduli dengan musik dan enggan membantunya mengurus anak dan rumah tangga. Tidak ada tar yang bisa menggantikan tar kesayangan Nasser Ali. Hal ini membuatnya merasa tak berguna.

Di satu frame, ditampilkan pertemuan tak sengaja antara Nasser Ali dan Irane. Sayangnya, Irane mengaku tak ingat pada Nasser Ali. Padahal, perempuan inilah yang selalu jadi sumber inspirasi Nasser Ali dalam bermusik. Sigh...

Nasser Ali memutuskan untuk mati. Sebelum mati, dia mengurung diri di kamarnya selama 8 hari. Nah, 8 hari ini lah yang diceritakan oleh Marjane―tentang pikiran-pikiran dan beragam peristiwa yang berkelebat dalam benak Nasser Ali, sebelum maut menjemputnya. Oleh Marjane, kisah sedih ini dibawakan secara humoris.

Oiya, harga buku 88 halaman ini lumayan mahal, Rp45.000. Saya rasa, itu karena kualitas kertas yang dipakainya, bagus.

Gambar diambil dari www.madisonpubliclibrary.org

Tahun 69

Penulis: Ryu Murakami
Tebal: 284 halaman
Penerbit: TransMedia Pustaka

“Aku ini sebenarnya tidak terlalu suka bekerja. Jadi, aku ingin menyelesaikan pekerjaanku dan kemudian setelah itu bersenang-senang.” (Ryu Murakami)

Membaca pernyataan itu di buku ini, saya lantas pengin tahu, seperti apa sih novel buatan seorang Ryu Murakami. Hihi, habis prinsip kerjanya kurang lebih sama seperti saya. Bedanya, saya masih sering tergoda untuk senang-senang dulu, baru kerja kemudian. Ya, selain itu, saya juga tertarik dengan gambar kaver bukunya. Ternyata, memang “Tahun 69” menyenangkan untuk dibaca.

Tahun 69 berkisah tentang pengalaman hidup Ryu Murakami semasa ia SMA. Tokoh Kensuke Yazaki alias Kensuke adalah bentuk personifikasi Ryu sendiri.

Bersama sama dua kawan baiknya, Adama dan Iwase, Kensuke memimpin pasukan anak pemberontak untuk membarikade sekolah mereka, SMA Kita. Alasan Kensuke sama sekali bukan berlatar politik, masalah yang peka di masa itu. Dia memimpin barikade SMA Kita karena dia naksir cewek paling cantik di sekolahnya, Kazuko Matsui alias si Lady Jane, yang menurutnya suka dengan anak laki-laki “pemberontak”.

Ketertarikan Kensuke utamanya pada musik jazz dan film. Setelah sukses membarikade sekolah dan dihukum skors selama 119 hari, dia merancang pertunjukan musik rock, film indie, dan drama yang dinamainya “Morning Erection Festival”.

Singkat kata, Tahun 69 berkisah tentang masa baby boomer, di mana kaum muda punya mimpi untuk mengubah dunia. Oleh Ryu, masa mudanya ini dikisahkan dalam tutur bahasa santai dan penuh kelucuan. Aseli, lucu banget! Buku ini sudah dilayar-kacakan dengan judul yang sama, 69.

Gambar diambil dari www.bukukita.com

Laskar Pelangi the Movie

Film Laskar Pelangi merupakan adaptasi dari novel berjudul sama, karya Andrea Hirata yang dibuat berdasar kisah nyata kehidupan masa kecilnya. Dalam film ini, tokoh utama, bocah bernama Ikal, merupakan personifikasi dari Andrea kecil.

Banyak orang bilang, film ini merupakan potret buram dunia pendidikan di Indonesia. Terus terang, menonton film ini, saya sama sekali tidak menyalahkan pendapat mereka.

Cerita Laskar Pelangi dimulai dengan narasi dari Ikal dewasa yang diperankan oleh Lukman Sardi. Di sini, Ikal dewasa menceritakan tentang satu masa―rasanya tidak salah kalau saya sebut masa itu sebagai tipping point dalam hidup Ikal―yang mengubah hidupnya. Belitong di tahun 1974, hari pertama ia masuk ke sekolah dasar.

SD Muhammadiyah Gantong, SD Islam tertua di daerah Belitong, adalah satu-satunya sekolah yang bisa dituju oleh kaum miskin di Belitong. Maklum, sekolah ini dibuka untuk mereka secara cuma-cuma. Para orangtua bebas menukar pendidikan anak-anaknya dengan berasa.


Pak Harfan (Ikranagara) dan Bu Muslimah (Cut Mini) adalah dua pahlawan di SD Muhammadiyah. Mereka rela mengabdikan diri mereka demi pendidikan anak-anak miskin di Belitong. Bagi mereka, siapapun berhak mengenyam pendidikan, tak terkecuali anak-anak tak punya.

Di hari pertama pendaftaran sekolah, Pak Harfan dan Bu Mus merasa was-was. Pasalnya, jika tak mampu mengumpulkan minimal 10 orang siswa, SD tersebut akan ditutup. Di sini, tokoh Harun, anak abnormal berusia 15 tahun, keluar jadi tokoh penyelamat. Harus adalah anak ke-10 yang datang ke sekolah itu untuk mendaftar sebagai murid. Itulah awal persahabatan dari 10 anak miskin yang kemudian dijuluki oleh Bu Mus sebagai “Laskar Pelangi”, yakni Ikal (Zulfanny), Mahar (Verry S. Yamarno), Lintang (Ferdian), Kucai (Yogi Nugraha), Syahdan (M. Syukur Ramadan), A Kiong (Suhendri), Borek (Febriansyah), Harun (Jeffry Yanuar), Trapani (Suharyadi Syah Ramadhan), dan Sahara (Dewi Ratih Ayu Safitri).

Dalam film berdurasi 125 menit ini, karakter masing-masing tokoh jelas tidak mungkin untuk ditampilkan secara utuh. Karakter Lintang, anak nelayan yang sangat miskin, yang sebenarnya menjadi inti dari cerita ini―contoh paling penting yang mewakili kaum miskin yang tersingkir―pun kurang diangkat. Makanya saya beri tips untuk teman-teman yang pengin menonton (atau sudah menonton) film ini (dan kecewa): jangan bandingkan film ini dengan novel aslinya. Keduanya, menurut saya, sama-sama bagus. Pada intinya, pesan yang ingin disampaikan Andrea dalam novelnya sudah disampaikan oleh Riri lewat film ini. Laskar Pelangi mengajak kita memandang kemiskinan dengan cara lain, bukan sebagai sesuatu untuk ditangisi, tapi cambuk semangat untuk meraih asa. Itu dibuktikan dari suksesnya Ikal mencicip pendidikan di Universitas Sorbonne di Paris.

Nilai film ini makin bertambah karena juga menyuguhkan keindahan alam Belitong. Akhir kata, saya sendiri hanya penggemar buku dan film, bukan kritikus. Saya hanya berusaha menikmati apa yang saya baca dan tonton. Dan sejauh ini, saya suka keduanya, baik buku maupun film Laskar Pelangi.

Foto diambil dari laskarpelangithemovie.com

Jumat, 10 Oktober 2008

Mamma Mia! The Movie





Saya menonton film ini agak terlambat setelah seru dibahas di media atau dibicarakan teman-teman sekantor sekitar 1-2 minggu lalu. Tepatnya pada Selasa (7/10) di BlitzMegaplex. Jaringan bioskop 21cineplex sudah tidak memutar film ini.

Film musikal karya sutradara Phyllida Lloyd, dari awal hingga akhir bertutur melalui lagu-lagu ABBA, grup musik asal Swedia yang pernah ngetop di tahun 1970-an. Misalkan Mamma Mia (sama dengan judul film), Dancing Queen, Honey Honey, Money Money Money, Super Trouper, I Have a Dream dan lainnya.

Para pemain film pun menyanyi dan menari dengan lincahnya. Termasuk Meryl Streep dan Pierce Brosnan yang tampil beda di film ini.

Film yang menyegarkan dan menghibur, membawa Anda bernostalgia ke masa remaja saat grup vokal, yang konon penyumbang pajak terbesar di negaranya setelah industri mobil Volvo, merajai dunia. Ataupun bagi yang belum lahir di era tersebut, juga bisa ikut bersenandung.

Di sebuah pulau kecil di Yunani, Donna (Meryl Streep) tengah mempersiapkan pernikahan putrinya, Sophie Sheridan (Amanda Seyfried). Diam-diam, tanpa sepengetahuan Donna, Sophie mengundang tiga pria mantan kekasih Donna. Ia Ia berharap bakal mengetahui siapa bapak kandungnya. Sayangnya, Donna sendiri tak yakin, mana diantara ketiga pria tersebut yang benar-benar ayah kandung Sophie.

Maklumlah, Donna muda berada pada masa hippies yang bebas, dipenuhi semangat pemberontakan dan petualangan masa remaja. Donna pada waktu berdekatan akrab dengan tiga pria : Sam Carmichael (Pierce Brosnan), Bill Anderson (Stellan Skargard) dan Harry Bright (Colin Firth) pegawai bank yang tak biasa hidup spontan.

Jalan cerita tidak lagi yang utama. Ga usahlah terlalu pusing mencari jawaban siapa bapak ’the real’ Sophie (meski dari semula kamu bisa menebak). Kekuatan film ini justru dalam unsur nostalgia. Pertama, nostalgia lagu-lagu ABBA. Nostalgia kedua, adalah kehadiran sahabat lama Donna yang dulu tergabung dalam Donna and the Dynamos : Rosie (Julie Walters) dan Tanya (Christine Baranski) yang khusus datang menghadiri pernikahan Sophie.

Julie Walters dan Christine Baranski membuktikan bahwa umur hanyalah angka, tapi semangat tetaplah ’dinamit’ tanpa memandang usia.

Unsur kesulitan film ini pada pemaksaan agar plot cerita matching dengan lirik lagu. Sehingga saya sebagai penonton sempat merasa jenuh. Jalinan cerita terlalu bertele-tele. Dan kadang tidak perlu. Misalkan saja adegan Rosie yang ditaksir cowok yang jauh lebih muda, lalu mereka berbalas nyanyi dan menari di tepi pantai. Cerita yang ditulis oleh Catherine Johnson berbasis lagu-lagu ABBA, sebelum ditayangkan ke dalam bentuk film layar lebar, cerita ini sudah melanglang di berbagai panggung teater. Termasuk teater Esplanade Singapura beberapa tahun lalu.

Lupakan pula usaha Anda mencari-cari wajah kerut pemain film itu saat masuk kedalam emosi sedih atau kesal. Semua perasaaan ternyatakan dalam lirik lagu.

Tapi jangan komparasi film ini dengan film India yang penuh tarian dan nyanyian ya .......:D
Jadi, mari nikmati saja sebagai hiburan menyegarkan sebelum kembali merasakan normalnya jalanan Jakarta dan ritme kerja mulai Senin pekan depan. Libur Idul Fitri sudah berlalu 2 minggu.

....”You can dance, you can jive, having the time of your life....”