Minggu, 29 Juni 2008

22 Ide Rumah yang Bergeming di Tatasurya

Bukan perkara mudah menyadarkan orang akan betapa rentannya bumi ini. Kebanyakan umat manusia terlena akan keteraturan yang disediakan bumi sampai saat ini. Banjir, tanah longsor, badai, gunung mleduk, memang bukan rutinitas biasa, namun kejadian-kejadian luar biasa itu hanya akan membekas dalam kenangan sejarah yang makin pendek saja singgah di benak umat manusia.

Saya? Saya termasuk yang ngeri bukan karena kampanye besar-besaran, seperti misalnya tentang "global warming" akhir-akhir ini. Saya ngeri sejak pertama kali mengenal konstelasi planet dan tatasurya. Bumi ini berputar kencang lho, Sodara-sodara! Tanpa tali pengikat atau sabuk pengaman yang secara kasat mata menjamin hubungannya dengan asnya! Namun hebatnya, justru karena putaran yang kencang dan konstan inilah yang menyebabkan kita tetap bergeming pada tempatnya, tidak gemetar atau ajrut-ajrutan. "Sopir alam semesta" ini memiliki presisi dan konsistensi yang luar biasa, tidak seperti sopir bajaj atau metromini di Jakarta, meski ada perhitungan yang menunjukkan bahwa putaran bumi ini mengalami perlambatan dari waktu ke waktu, hingga sekarang ini jumlah hari dalam satu tahun tinggal 364,25 hari.

Sopir alam semesta ini ternyata juga berjuang keras menghadapi kondisi jalan dan "ulah usil penumpang". Pencairan es dan kondisi atmosfer adalah salah satu penyebab ketidakstabilan putaran bumi. Dan kita tahu bahwa kondisi atmosfer dan es di permukaan bumi akhir-akhir ini mengalami perubahan drastis. Es abadi bercairan di mana-mana, atmosfer gerah tersengat panas yang tak mampu diserap bumi. Jika perubahan ini makin mendrastis saja, bukankah tidak mungkin perubahan siklus putaran bumi akan juga berubah drastis. Dan apakah tidak mungkin juga bahwa planet bumi akan terlempar dari orbitnya atau bertabrakan karena jadwal orbit yang tidak ditepatinya? Sepertinya saya harus memelajarinya jika ingin menumpahkannya sebagai tema novel sci-fi.

Ngemeng apa sih saya ini? Cuma mau ngemeng saja bahwa mungkin semua orang harus memiliki trauma atau kekhawatiran masing-masing yang menyangkut kelangsungan bumi agar bisa bertindak secara mandiri, tanpa menunggu gembar-gembor orang lain dalam bahasa dan idiom yang mungkin tak dipahaminya. Bagi saya, kekhawatiran akan terlempar dari tatasurya ternyata berhubungan erat dengan tingkah laku saya sehari-hari, misalnya dalam menggunakan kertas. Jika boros mengonsumsi kertas, maka ternyata bumi saya bisa berhenti berputar, dan efeknya terlempar dari tatasurya atau ditabrak planet lain, jika bukan hangus karena tersedot gravitasi matahari. Silakan pilih!

Artinya, saya (untuk tidak memaksa semua umat manusia) harus punya paradigma "kemungkinan terlempar dari tatasurya" dalam setiap keputusan dan eksekusi kehidupan. Bangun pagi secara lestari, misalnya (entah bagaimana manifestasinya). Atau yang agak makro seperti ketika saya mau membangun rumah. Sebelum sadar bahwa setiap saat bisa terlempar dari tatasurya, rumah yang mau saya bikin ya yang cantik dan estetis, selain nyaman. Namun, apa guna rumah nyaman dan cantik sekarang jika nanti anak atau cucu kita harus terlempar dari tatasurya?

Untunglah ada buku ini: "22 Desain Rumah Hemat Energi" terbitan Pustaka Rumah (Mei 2008). Buku ini adalah hasil kumpulan desain rumah oleh para mahasiswa arsitektur seluruh Indonesia yang disayembarakan oleh Tabloid Rumah. Teknis lombanya adalah: panitia menyediakan sebuah acuan lahan yang aslinya berupa sebuah lahan riil yang ada di kawasan Jakarta Selatan (entah ini lahan siapa punya), dari lahan ini peserta dipersilakan merancang sebuah rumah di atasnya dengan tema "rumah hemat energi". Ada 300-an karya yang masuk dan setelah diseleksi, ada sekitar 150 yang memenuhi syarat. Juara yang diambil ada lima desain, namun untuk kepentingan buku ini, diambil 22 karya terbaik.

Sebagai sebuah gambar desain, memang karya-karya ini masih baru sampai pada tataran konsep, belum dituangkan menjadi sebuah rancangan yang (dalam bahasa saya yang awam) bisa langsung dijejalkan ke saku para tukang untuk mereka wujudkan, sementara saya memesan kopi joss di angkringan Lik Man (kalau lagi tanggal tua) atau tenggelam di sofa-sofa empuk Starbucks sambil menyeruput Cafe Americano (setahun maksimal 3 kali jika ada bonus (excl. traktiran)). Namun itulah kelebihan karya-karya ini: dengan tanpa banyak keribetan di dana dan bahan, bisa muncul kreasi yang lebih mengutamakan gagasan penghematan energi. Bukan berarti gagasan hemat energi berbiaya mahal, namun lebih berefek pada alokasi effort yang harus lebih banyak karena banyak rancangan yang tidak biasa.

Jika sampai kepada tahap implementasi maka bantuan "penerjemah" dari konsep ke bentuk konstruksi dan rancangan anggaran biaya akan berperan penting. Saya belum mencobanya, namun sepertinya sudah punya bayangan bahwa jika memang ingin membangun rumah dengan paradigma hemat energi ini, maka sumbangan gagasan penggunaan berbagai elemen penghematan dalam buka ini adalah luar biasa kayanya. Mungkin belum ada referensi selengkap ini di Pertiwi yang memberi insight dan ide tentang elemen apa saja yang bisa diterapi gagasan hemat energi. Apalagi, selain gagasan dari penulis (yang juga peserta lomba), buku ini dilengkapi dengan dasar-dasar penghematan energi dalam membangun rumah dari redaksi penyusun buku. Keren!

Mungkin, karena berbagai alasan, tidak bisa satu ide rumah bisa kita implementasikan secara penuh. Namun bisa juga beberapa ide kita gabungkan jadi satu. Hebatnya, referensi untuk padu-padan itu ada di satu buku ini. Pas banget sebagai sumber rujukan jika kita menghadapi kendala untuk satu gagasan tertentu, tinggal mencari ide di halaman-halaman berikutnya.

Beberapa contoh gagasan elemen hemat energi adalah: pengudaraan, pencahayaan, pengairan, pembahanan, penyampahan, penghijauan, penyuhuan, peruangan, pengenergian, dan lain-lain.

Berkaitan dengan fungsinya sebagai rujukan paling mutakhir dan lengkap tentang gagasan pembangunan rumah yang hemat energi ini, maka dalam bayangan saya, buku ini pantas tampil secara lebih "akademis" dengan "form factor" yang lebih ke aspek tebal daripada lebar.

Good job!

Jumat, 20 Juni 2008

Veronika Memutuskan Mati

Oleh : Paulo Coelho
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, 2005


Veronika memutuskan bunuh diri. Bukan karena patah hati, lari dari jeratan utang, atau ada tujuan lain yang biasanya menjadi alasan memutuskan mati.

Gadis ini hanya potret tentang pencarian makna hidup dalam masyarakat yang terbelenggu rutinitas, tanpa jiwa dan takluk pada tekanan sosial.

Namun, kematian tidak menghampiri Veronika, yang berupaya bunuh diri dengan menelan pil tidur, secara sederhana. Ia selamat dan dimasukkan ke dalam Rumah Sakit Jiwa Villete. Di dalam rumah sakit yang dibangun pada menjelang perpecahan Yugoslavia menjadi negara-negara kecil, ia bertemu dengan rekan-rekan ’normal’ yang tampil ’gila’. Ia bertemu individu-individu rapuh yang seolah sadar memilih masuk rumah sakit jiwa karena kemauan, impian, dan sikap hidup mereka berbeda dengan yang dianggap normal oleh masyarakat.

Di dalam rumah sakit terdapat Mari, pengacara di usia 40 tahun penderita panic attack. Zedka yang depresi, dan Eduard anak diplomat yang ingin menjadi pelukis. Mereka adalah orang-orang yang melepaskan diri dari kenyataan.

Veronika, divonis kepala Rumah Sakit Jiwa Villete, Dr. Igor, hanya memiliki waktu hidup 5 hari lagi akibat pil-pil tidur mengganggu kerja sistem jantungnya. Namun, kehadiran Veronika yang tinggal menunggu ajal, justru membuat Mari, Zedka, dan Eduard, mengalami pencerahan untuk berani menghadapi kenyataan. Mewujudkan impian.

Akhirnya, mereka termasuk Veronika seperti ditulis Dr. Igor dalam penelitiannya yang berjudul ”Kesadaran akan Kematian membangkitkan semangat hidup yang baru.”

Ini karya Paulo Coelho yang tergolong ’ringan’, tidak menjejali kita dengan kalimat yang dalam dan penuh makna. Tidak seperti karya-karya lainnya : Sang Alkemis (The Alchemist); atau, Di Tepi Sungai Piedra , Aku Duduk dan Menangis (By the River Piedra I Sat Down and Wept) dalam bukunya yang berjudul asli ”Veronika Decides to Die” tahun 1998 tidak menawarkan kalimat-kalimat yang membuat saya sebagai pembaca berhenti sejenak untuk merenungi dan meresapi barisan kata yang dikemukakan oleh Coelho. Hanya melahap bacaan hingga akhir, lalu merenungi apakah diri ini sudah memiliki dan menikmati hidup tanpa didikte orang lain.

Kamis, 05 Juni 2008

Misteri Yang Tak Terpecahkan - Sherlock Holmes



Pengarang : Mitch Cullin
Penerbit : Voila Books (2007)


Sherlock Holmes bagi Mitch Cullin, adalah pria uzur berusia 93 tahun, sudah renta, dan telah ditinggal mati rekan-rekannya termasuk Dr. Watson (John).

Holmes tua tidak lagi tinggal di Baker Street London. Melainkan, pindah ke Sussex Downs – terletak di antara Seaford dan Eastbourne, dengan Cuckmere Haven sebagai desa terdekat- menghabiskan hari-hari dengan beternak lebah, serta percaya keunggulan royal jelly dalam menjaga stamina.

Holmes, dengan daya ingat mulai didera kepikunan, harus mengumpulkan keping-keping memori masa lalu untuk memecahkan misteri yang tiba-tiba saling terkait. Dari pemecahan kasus ayah yang hilang (yang sudah terjadi bertahun-tahun lalu), membuat Holmes teringat kasus lama yang mempengaruhi dirinya untuk mulai beternak lebah, dan juga kematian Roger, putera Mrs. Munro yang berusia 12 tahun. Mrs. Munro adalah pengurus rumah Holmes.

Alur cerita dalam tulisan ini memakai teknik kilas balik. Cerita dimulai dari kepulangan Holmes dari Jepang. Kepergiannya ke Negeri Sakura untuk memenuhi undangan Mr. Umezaki yang mengaku sesama penggemar ternak lebah.

Jangan bayangkan Holmes dalam buku ini memecahkan misteri melalui penelitian kimia, penelusuran mendalam, dan mengingat detil yang terlewat oleh awam. Kerumitan terjadi dalam upaya Holmes mengingat kembali sesuatu yang sudah lama lewat.

Cerita terasa berbelit-belit dan menjenuhkan. Mau tak mau, saya menjadi membandingkan cerita ini dengan Miss Jane Murple tua (tokoh rekaan Agatha Christie) yang mencoba mengembalikan keping memori masa lalu dalam cerita ”Gajah Selalu Ingat” atau ”Nemesis”. Sesama detektif tua dan tak secergas waktu dulu, hanya saja sel abu-abunya sama-sama tergelitik untuk mengingat kasus yang terjadi di masa lalu. Hanya saja, rasanya Holmes terlihat terseok-seok dibanding Mrs. Murple. Atau ini persoalan siapa penulis di belakangnya?

Kafka on the Shore (Labirin Asmara Ibu dan Anak)



Pengarang : Haruki Murakami
Penerbit : Pustaka Alvabet (2008)

Terus terang ini persinggungan pertama saya dengan sastrawan Jepang. Ini jika Aoyama Gosho komikus pengarang Detektif Conan, atau Kyomi Ogawa yang berada dalam kategori Manga tidak termasuk.

Haruki Murakami dalam profil di buku disebutkan sebagai penulis Jepang kontemporer yang terkenal. Dan telah meraih banyak penghargaan di dunia kepenulisan, antara lain Yomiuri Literary Prize (1995); Kuwabara Takeo Academic Award (1998); Frans O’Connor International Short Story Award (Irlandia – 2006); Franz Kafka Prize (Cekoslovakia – 2006); dan Kiriyama Prize 2007, sebuah penghargaan untuk penulis unggul di kawasan Pasifik dan Asia Selatan.

Usai membaca habis buku yang hak edarnya di Indonesia dimiliki Pustaka Alvabet, definisi kontemporer ini saya maknai sebagai alur cerita yang absurd.

Yap! Tokoh utama pemuda berusia 15 tahun, Kafka Tamura, yang lari dari rumah dan ayahnya yang terasa asing. Kafka semenjak berusia 4 tahun telah ditinggalkan oleh ibu dan kakak perempuannya. Dan tokoh lain bernama Nakata yang daya ingatnya dan kecerdasannya hilang akibat peristiwa sial yang menimpanya di masa Perang Dunia II.

Kafka Tamura ibarat Oedipus, Raja Thebes, yang mengawini ibu kandungnya. Sejak Kafka kecil, ayah kandungnya telah meramalkan, atau tepatnya mengutuknya, bahwa suatu hari Kafka bakal membunuh ayahnya, meniduri ibu kandungnya dan juga kakak perempuannya.

Alur cerita berliku dan penuh teka-teki, akhirnya pembaca tersadar bahwa Nakata, lelaki tua aneh yang hilang separuh ’bayangannya’ adalah wujud semu dari Kafka.

Cerita ini seputar orang-orang yang sedang bingung. Kafka kabur ke Shikoku, terletak jauh di selatan Tokyo dan terpisah dari daratan oleh lautan, adalah pemuda yang berontak pada nasib. Ia bertanya kepada diri sendiri mengapa ia tidak dibawa pergi dan ditinggal saat ibunya angkat kaki dari kehidupan keluarganya yang berkecukupan secara materi. Ia merasa ditolak oleh ibu yang telah melahirkan dirinya.

Dalam pelariannya, ia bersahabat dengan Oshima, penjaga perpustakaan yang terbelenggu jati diri tak jelas antara berkelamin pria atau wanita. Adapula Nona Saeki, kepala perpustakaan Komura berusia sekitar empat puluh tahunan, yang tenggelam dalam kenangan masa lalu. Kafka yakin wanita tersebut adalah ibu kandungnya.

Nakata dalam pelariannya dari pengejaran polisi, berkenalan dengan Hoshino. Pria supir truk yang pasti ’nyaris dangkal’ dalam semua aspek kehidupannya. Di awal cerita, Nakata yang telah berusia 60 tahunan, mampu berbicara dengan kucing. Kucing bagi bangsa Jepang menjadi perlambang keberuntungan. Buku ini memang perlu dinikmati dengan tenang. Penuh teka-teki dan metafora.