Minggu, 22 Februari 2009

Renungan Dalam Keheningan


Resensi ini dimuat di Koran Tempo, Minggu 22 Februari 2009.


Kembalinya Zara Zettira ZR setelah 10 tahun menghilang dari dunia kepenulisan.

Judul : ”Cerita Dalam Keheningan” dan ”Every Silence Has a Story”
Pengarang : Zara Zettira ZR
Penerbit : Esensi – Erlangga Group
Edisi : Cetakan Pertama – Desember 2008
Jumlah Halaman : 353 halaman (bahasa Indonesia) dan 271 halaman (Bahasa Inggris)


Membaca buku Cerita Dalam Keheningan yang dikemas dalam satu buku dwi-bahasa, praktis membuat pembaca menerka tokoh utama Zaira Ramadhani adalah Zara Zettira ZR pribadi.

Memang, seperti diakui Zara di sela peluncuran bukunya di Jakarta, kisah ini 90 persen biografi hidupnya. Tentu saja, sebuah cerita perjalanan pribadi penulis yang dipadu dengan kekuatan imajinasi.

Nama Zara Zettira ZR berkibar di era 80-an dan 90-an, sebagai penulis cerpen di berbagai majalah remaja. Selain itu, wajahnya pun sering tampil sebagai model di majalah. Ini berkah sebagai juara kedua Putri Remaja yang diselenggarakan oleh Majalah Gadis.

Zara telah menulis sejak berusia 12 tahun. Cerpen perdananya meraih juara ke-2 lomba yang diadakan majalah Anita, dan sejak itu ia termasuk pengarang produktif. Ia sudah menulis lebih dari 200 cerpen dan 15 novel fiksi. Seiring maraknya televisi swasta di era 90-an, Zara sibuk menjadi penulis skenario sinetron dan film, dan pada penghujung 1990-an, tepatnya 1999, Zara pindah dan menetap di Kanada bersama suami dan anak-anak. Tujuh tahun menetap di Kanada, suasana hatinya berubah ketika harus menulis satu episode dalam sehari. Menulis sebagai kesenangan bagi perempuan kelahiran Jakarta itu, berubah menjadi tuntutan ketika harus mendengarkan kata orang.

Kegundahan ini terhapus ketika ada penerbit menawarkan dia menulis. Akhirnya terwujud Cerita Dalam Keheningan, yang mengajak pembaca merenungkan perjalanan hidup melalui kisah Zaira.

Zaira cilik dibesarkan di keluarga nan kaya. Tinggal di rumah paviliun berhalaman luas, pergi ke sekolah naik mobil sesuai warna ikat rambut dan baju. Kekayaan ini bersumber dari sang Kakek yang pengusaha sekaligus pentolan organisasi politik berbasis Islam.

Pada usia 6 tahun, Zaira belajar memahami ’cinta’ sekaligus mengalami arti ’kehilangan’. Pertama, ketika sahabatnya, Ali, pergi meneruskan sekolah ke Cina. Ali menyarankan Zaira untuk menuangkan pikiran –yang bagaikan pohon beringin besar di dalam otak, dengan ratusan cabang terus tumbuh, saling membelit dan menekan kepala –ke dalam buku harian.

Selanjutnya, peristiwa Kakek meninggal menjadi kehilangan terbesar sekaligus pengalaman spiritual pertama Zaira. Represi militer sekaligus persaingan kekuasaan politik di era 70-an membuat Kakek Zaira salah satu target utama untuk disingkirkan. Dengan alasan tidak jelas, Kakek Zaira ditahan tentara, dibawa pergi entah ke mana, yang berakhir pada perawatan di rumah sakit.

Di rumah sakit, Zaira baru mengetahui rahasia Sang Kakek ternyata pemakai susuk agar kebal di medan perang. Akibatnya, sakratul maut susah menjemput. Zaira sebagai cucu perempuan pertama –dalam rangkaian kegiatan yang tidak sepenuhnya dimengerti anak kecil- menjadi ’pembuka jalan’ Kakek untuk meninggal.

Setelah Kakek tiada, Zaira dan keluarga besar pun mengalami perubahan hidup. Kehilangan mobil, teman-teman, dikucilkan dari lingkungan perumahan, dan puncaknya rumah keluarga besar Ramadhani pun disita.

Dari rumah megah tengah kota, Zaira dan keluarganya pindah ke rumah terpencil di kawasan selatan Jakarta, terletak di pinggir sungai bau –tempat penduduk mengambil air untuk minum dan masak- sekaligus tempat membuang sampah dan buang hajat.

Cekcok Ayah dan Ibu akibat perubahan kondisi ekonomi ditambah kelahiran adik perempuan semakin merengganggkan relasi Zaira-Ibu yang sedari awal tidak hangat. Jenuh bertikai, Zaira memutuskan hengkang menyewa kamar kos. Meski masih duduk di SMU, Zaira sudah memiliki penghasilan berkat kerja paruh waktu sebagai copywriter di sebuah kantor periklanan.

”Kadang, untuk mendapatkan sesuatu yang baru, kita harus meninggalkan yang lama,” kata Ayah Zaira, seolah mendukung keputusan anaknya. Sebuah perkataan yang membekas ke dalam Zaira hingga dewasa. ”Bahwa untuk mendapatkan sesuatu, selalu ada pengorbanan. Selalu harus ada yang hilang. Misalnya, untuk mendapatkan uang kita harus bekerja. Bekerja berarti kita kehilangan waktu untuk diri kita sendiri. Untuk mendapatkan, kita harus kehilangan.”

Dunia seolah berada di tangan perempuan usia 20-an yang tengah mekar. Zaira terus melaju. Punya uang, kecantikan, terkenal, mampu beli mobil, menjabat sebagai direktur kreatif di perusahaan periklanan, serta kuliah di fakultas psikologi Universitas Indonesia (UI) berkat jalur prestasi.

Namun, Zaira punya mimpi lain. Dengan berbekal uang tabungan, ia memutuskan keluar dari UI dan mengambil kursus singkat broadcasting di Los Angeles. Perjalanan singkat untuk kursus singkat tak selesai, karena mendapat kabar Ayah sakit. Zaira kembali ke Jakarta, dan menemani Ayah hingga ajal karena sakit kanker.

Zaira kembali mengalami ’kehilangan’. Kali ini, kehilangan yang terasa dashyat. Cinta hanya membawa luka, termasuk kehadiran cinta dari Jody. Pria selisih usia 3 tahun darinya yang datang setelah Ayah meninggal, hanya pergi menorehkan kesedihan.

Zara masih tetap penulis handal. Ia mengajak pembaca seolah menikmati roller coaster. Pertama, kita akan dibawa perlahan, memahami tokoh Zaira dan sejumlah latar belakang tokoh dari sudut pandang Aku (Zaira). Kemudian, rahasia pun terkuak mengapa Ibu dingin terhadapnya, lalu menanjak dan bergerak cepat hingga konflik cerita. Zaira dan perasaan kehilangan saat ayahnya meninggal, berganti lonjakan keceriaan ketika menemukan cinta pada Jody, lalu kehilangan cinta, hingga bermuara pada dunia hening Zaira.

Semua bergerak cepat, tegang, membuat mata berbaris melahap setiap kata dan segera membalik helai halaman selanjutnya, ... dan, sampailah di bab terakhir. Lho, begini saja? Zaira menemukan ketenangan dan spiritualisme di Bali. Zaira hanya berteman dengan Jody tanpa bermuara pada pernikahan. Zaira vs Jody adalah cinta tanpa memiliki. Selesai.

Kita sudah meliuk-liuk bersama Zaira dan dunia heningnya, lalu berhenti di kepasrahan bahwa semua akan berlalu, bahwa kemarin bukanlah milik kita lagi, dan hari esok belum tentu jadi milik kita.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

bagus...!, oh ya kalo boleh tau siapa ya kakeknya Zara

aksara mengatakan...

Novelnya bagus banget, aku sampai baper bacanya. Hanya saja dalam novel tersebut agama yang dianut tokoh zaira tidak jelas