Kamis, 26 Februari 2009

Marley & Me

Pasangan pengantin baru John dan Jenny Grogan (yang masing-masing diperankan oleh Owen Wilson dan Jennifer Aniston), pindah dari Michigan ke West Palm Beach, Florida. Mereka berdua sama-sama jurnalis di koran lokal.

Sejumlah rencana sudah ada di dalam benak mereka : pindah dari kota yang dingin ke daerah Florida yang menawarkan mentari hangat. John serius meniti karier sebagai reporter harian di Sun-Sentinel sementara Jenny penulis feature di harian New Beach Post. Lalu mereka membeli rumah, dan berencana punya anak. Namun sebelum anak lahir, mereka mengadopsi anjing supaya naluri merawat makhluk hidup terasah.

Akhirnya, mereka membeli seekor anak anjing labrador seharga US$275 (yang betina berharga lebih mahal US$25) di sebuah peternakan. Anjing jantan jenis labrador itu dinamai Marley, diambil dari nama legenda reggae Bob Marley.

Marley awalnya terlihat bagai anak anjing menggemaskan. Namun tak perlu waktu lama untuk akhirnya mereka menyadari bahwa anjing mereka memiliki nafsu makan besar, hiperaktif, senang mengacak-acak dan mengunyah sofa. Hampir apapun yang bisa dikunyah tak bakal lepas dari gigitannya, termasuk underwear Jenny, bantal tempat tidur, bahkan pernah menelan kalung rantai hadiah John untuk Jenny.

Bahkan Marley diusir dari sekolah pelatihan anjing hanya dalam hitungan jam. Marley yang doyan mangga ini hanya takut dengan petir. Kalau hujan dengan petir menyambar, maka Marley tak berhenti melolong panjang sekaligus bersembunyi ke majikan.

Tapi jalan cerita ini tidak seperti film-film bertema binatang seperti Beethoven, MPX atau Rin Tin Tin. Bukan tokoh binatang jagoan menolong majikan seperti umumnya film anak-anak.

Makanya film ini lebih tepat bagi penonton Remaja atau Dewasa, karena alur drama (dan beberapa bagian komedi yang lebih tepat dicerna orang besar) menceritakan Marley sebagai bagian dari kehidupan keluarga Grogan.

Dengan gayanya yang melelahkan, Marley tetap disayangi oleh Jenny dan John. Marley juga berkelakuan layaknya anjing setia, yang ikut sedih ketika Jenny menangis ketika kehamilannya gagal. Resah di saat Jenny mulai merasakan tanda bukaan tanda melahirkan. Tapi juga menimbulkan naik pitam ketika kelahiran anak pertama disusul kehamilan kedua.

Marley saksi kehidupan keluarga Grogan hingga kehadiran Colleen anak ketiga sekaligus putri satu-satunya keluarga. Ada bagian ketika mimpi terkalahkan realita kehidupan. John yang menjadi kolumnis tetap demi kenaikan gaji dan kemapanan kerja. Ini semua demi perbaikan kehidupan keluarga, seperti membeli rumah baru berkolam renang di kawasan yang lebih elit sekaligus lebih aman untuk membesarkan anak-anak. Ada pula terbersit rasa iri pada rekannya, Sebastian yang masih single (sekilas wajahnya seperti Leonardo diCaprio) yang sukses meningkatkan karier hingga pindah menjadi wartawan New York Times.

Hanya saja, kadang ada bagian yang kurang dalam diangkat sutradara/penulis skenario. Sehingga terasa sepenggal dengan penyelesaian yang gampang. (Saya pribadi belum membaca bukunya yang sudah diterjemahkan dalam versi Indonesia....hmm jadi penasaran baca dan jujur seusai nonton, saya sempat berburu buku tsbt di Gramedia Plaza Semanggi tapi sayangnya tidak ketemu). Mungkin ini disebabkan penulis skenario ingin memadatkan kisah yang diangkat dari buku yang ditulis sendiri oleh John yang kini menjadi kolumnis Philadelphia Inquirer.

Sebelumnya artikel tentang Marley menjadi bagian dari tulisan harian John di koran Sun-Sentinel.

Ohya satu kekurangan lagi. Sepanjang film kita menyaksikan pertumbuhan Marley dari anak menjadi anjing besar. Tapi rasanya tak ada perubahan penampilan pada John dan Jenny dari pasangan pengantin baru hingga menjadi orangtua tiga anak. Secara keseluruhan film menarik ditonton, jalan cerita ringan, meski sedih di bagian akhir karena Marley mati.

Minggu, 22 Februari 2009

Renungan Dalam Keheningan


Resensi ini dimuat di Koran Tempo, Minggu 22 Februari 2009.


Kembalinya Zara Zettira ZR setelah 10 tahun menghilang dari dunia kepenulisan.

Judul : ”Cerita Dalam Keheningan” dan ”Every Silence Has a Story”
Pengarang : Zara Zettira ZR
Penerbit : Esensi – Erlangga Group
Edisi : Cetakan Pertama – Desember 2008
Jumlah Halaman : 353 halaman (bahasa Indonesia) dan 271 halaman (Bahasa Inggris)


Membaca buku Cerita Dalam Keheningan yang dikemas dalam satu buku dwi-bahasa, praktis membuat pembaca menerka tokoh utama Zaira Ramadhani adalah Zara Zettira ZR pribadi.

Memang, seperti diakui Zara di sela peluncuran bukunya di Jakarta, kisah ini 90 persen biografi hidupnya. Tentu saja, sebuah cerita perjalanan pribadi penulis yang dipadu dengan kekuatan imajinasi.

Nama Zara Zettira ZR berkibar di era 80-an dan 90-an, sebagai penulis cerpen di berbagai majalah remaja. Selain itu, wajahnya pun sering tampil sebagai model di majalah. Ini berkah sebagai juara kedua Putri Remaja yang diselenggarakan oleh Majalah Gadis.

Zara telah menulis sejak berusia 12 tahun. Cerpen perdananya meraih juara ke-2 lomba yang diadakan majalah Anita, dan sejak itu ia termasuk pengarang produktif. Ia sudah menulis lebih dari 200 cerpen dan 15 novel fiksi. Seiring maraknya televisi swasta di era 90-an, Zara sibuk menjadi penulis skenario sinetron dan film, dan pada penghujung 1990-an, tepatnya 1999, Zara pindah dan menetap di Kanada bersama suami dan anak-anak. Tujuh tahun menetap di Kanada, suasana hatinya berubah ketika harus menulis satu episode dalam sehari. Menulis sebagai kesenangan bagi perempuan kelahiran Jakarta itu, berubah menjadi tuntutan ketika harus mendengarkan kata orang.

Kegundahan ini terhapus ketika ada penerbit menawarkan dia menulis. Akhirnya terwujud Cerita Dalam Keheningan, yang mengajak pembaca merenungkan perjalanan hidup melalui kisah Zaira.

Zaira cilik dibesarkan di keluarga nan kaya. Tinggal di rumah paviliun berhalaman luas, pergi ke sekolah naik mobil sesuai warna ikat rambut dan baju. Kekayaan ini bersumber dari sang Kakek yang pengusaha sekaligus pentolan organisasi politik berbasis Islam.

Pada usia 6 tahun, Zaira belajar memahami ’cinta’ sekaligus mengalami arti ’kehilangan’. Pertama, ketika sahabatnya, Ali, pergi meneruskan sekolah ke Cina. Ali menyarankan Zaira untuk menuangkan pikiran –yang bagaikan pohon beringin besar di dalam otak, dengan ratusan cabang terus tumbuh, saling membelit dan menekan kepala –ke dalam buku harian.

Selanjutnya, peristiwa Kakek meninggal menjadi kehilangan terbesar sekaligus pengalaman spiritual pertama Zaira. Represi militer sekaligus persaingan kekuasaan politik di era 70-an membuat Kakek Zaira salah satu target utama untuk disingkirkan. Dengan alasan tidak jelas, Kakek Zaira ditahan tentara, dibawa pergi entah ke mana, yang berakhir pada perawatan di rumah sakit.

Di rumah sakit, Zaira baru mengetahui rahasia Sang Kakek ternyata pemakai susuk agar kebal di medan perang. Akibatnya, sakratul maut susah menjemput. Zaira sebagai cucu perempuan pertama –dalam rangkaian kegiatan yang tidak sepenuhnya dimengerti anak kecil- menjadi ’pembuka jalan’ Kakek untuk meninggal.

Setelah Kakek tiada, Zaira dan keluarga besar pun mengalami perubahan hidup. Kehilangan mobil, teman-teman, dikucilkan dari lingkungan perumahan, dan puncaknya rumah keluarga besar Ramadhani pun disita.

Dari rumah megah tengah kota, Zaira dan keluarganya pindah ke rumah terpencil di kawasan selatan Jakarta, terletak di pinggir sungai bau –tempat penduduk mengambil air untuk minum dan masak- sekaligus tempat membuang sampah dan buang hajat.

Cekcok Ayah dan Ibu akibat perubahan kondisi ekonomi ditambah kelahiran adik perempuan semakin merengganggkan relasi Zaira-Ibu yang sedari awal tidak hangat. Jenuh bertikai, Zaira memutuskan hengkang menyewa kamar kos. Meski masih duduk di SMU, Zaira sudah memiliki penghasilan berkat kerja paruh waktu sebagai copywriter di sebuah kantor periklanan.

”Kadang, untuk mendapatkan sesuatu yang baru, kita harus meninggalkan yang lama,” kata Ayah Zaira, seolah mendukung keputusan anaknya. Sebuah perkataan yang membekas ke dalam Zaira hingga dewasa. ”Bahwa untuk mendapatkan sesuatu, selalu ada pengorbanan. Selalu harus ada yang hilang. Misalnya, untuk mendapatkan uang kita harus bekerja. Bekerja berarti kita kehilangan waktu untuk diri kita sendiri. Untuk mendapatkan, kita harus kehilangan.”

Dunia seolah berada di tangan perempuan usia 20-an yang tengah mekar. Zaira terus melaju. Punya uang, kecantikan, terkenal, mampu beli mobil, menjabat sebagai direktur kreatif di perusahaan periklanan, serta kuliah di fakultas psikologi Universitas Indonesia (UI) berkat jalur prestasi.

Namun, Zaira punya mimpi lain. Dengan berbekal uang tabungan, ia memutuskan keluar dari UI dan mengambil kursus singkat broadcasting di Los Angeles. Perjalanan singkat untuk kursus singkat tak selesai, karena mendapat kabar Ayah sakit. Zaira kembali ke Jakarta, dan menemani Ayah hingga ajal karena sakit kanker.

Zaira kembali mengalami ’kehilangan’. Kali ini, kehilangan yang terasa dashyat. Cinta hanya membawa luka, termasuk kehadiran cinta dari Jody. Pria selisih usia 3 tahun darinya yang datang setelah Ayah meninggal, hanya pergi menorehkan kesedihan.

Zara masih tetap penulis handal. Ia mengajak pembaca seolah menikmati roller coaster. Pertama, kita akan dibawa perlahan, memahami tokoh Zaira dan sejumlah latar belakang tokoh dari sudut pandang Aku (Zaira). Kemudian, rahasia pun terkuak mengapa Ibu dingin terhadapnya, lalu menanjak dan bergerak cepat hingga konflik cerita. Zaira dan perasaan kehilangan saat ayahnya meninggal, berganti lonjakan keceriaan ketika menemukan cinta pada Jody, lalu kehilangan cinta, hingga bermuara pada dunia hening Zaira.

Semua bergerak cepat, tegang, membuat mata berbaris melahap setiap kata dan segera membalik helai halaman selanjutnya, ... dan, sampailah di bab terakhir. Lho, begini saja? Zaira menemukan ketenangan dan spiritualisme di Bali. Zaira hanya berteman dengan Jody tanpa bermuara pada pernikahan. Zaira vs Jody adalah cinta tanpa memiliki. Selesai.

Kita sudah meliuk-liuk bersama Zaira dan dunia heningnya, lalu berhenti di kepasrahan bahwa semua akan berlalu, bahwa kemarin bukanlah milik kita lagi, dan hari esok belum tentu jadi milik kita.