Selasa, 09 Desember 2008

The Kite Runner

Pemain : Khalid Abdalla, Atossa Leoni, Shaun Toub
Sutradara : Marc Forster (2007)

Ada persahabatan kanak-kanak. Persahabatan tanpa mengenal strata ekonomi. Namun, semua berakhir setelah satu kejadian usai festival layang-layang. Semua terjadi di satu sudut kota di Kabul, Afghanistan.

Lalu sebuah cerita berlanjut. Invasi Uni Soviet ke Afghanistan pada tahun 1979, membuat Amir dan ayahnya yang anti komunis melarikan diri ke Pakistan. Menuju tanah kebebasan : Amerika Serikat. Di sana, ayahnya bekerja sebagai petugas pompa bensin, Amir belajar hingga lulus college dan merealisasikan cita-cita menjadi Penulis.

Amir tumbuh dewasa di negeri Paman Sam. Menikah dengan Soraya, putri jenderal (pelarian dari Afghanistan pula), hidup bahagia. Ia sudah melupakan masa kecilnya di Kabul. Tepatnya di bagian pertemanan masa kecilnya bersama Hassan, anak pembantu di rumahnya.

Ia sudah pula mempublikasikan novel karyanya. Ketika tiba-tiba pada 2000-an, sebuah telepon mengingatkannya kembali akan cerita persahabatannya dengan Hassan.

Telepon berasal dari , teman sang ayah, membuat Amir mengetahui bahwa Hassan sudah meninggal. Namun, minta menyelamatkan putra Hassan dari panti asuhan di Afghanistan, untuk memberikan hidup lebih baik. Amir juga baru tahu apa relasi antara dia dan Hassan yang selama ini tidak ia ketahui.

Karakter utama, Amir, juga bukan tokoh heroik dan super. Boleh jadi kita sempat ill-feel dengan Amir yang pengecut, tak setia kawan, tidak mau menolong Hassan yang mengalami penganiayaan dari gerombolan anak laki-laki yang usianya lebih tua.

Kita cap Amir si pencari aman, lebih baik menghindar ketimbang mengatasi keadaan. Dan memang sepertinya begitu karakternya, hingga akhirnya ia terbukti punya sikap : menolong Sohrab (putra Hassan), membungkam omongan mertuanya yang merasa tidak pantas Amir mempertaruhkan nyawa demi turunan Hazzara.

Hazzara adalah kaum minoritas di Afghanistan, berasal dari daerah antara perbatasan Afghan, Rusia, dan Cina, dimana secara fisik mereka lebih terlihat seperti Cina Utara.

Film yang diangkat dari buku karya Khaled Hosseini, bukanlah bergaya cepat atau action. Mutlak drama dilatari konflik perang. Jalan cerita lambat, namun touchy dan menggali humanisme. Menyindir manusia dengan berbagai sifatnya. Pada beberapa frame gambar, sosok Taliban ditampilkan, silahkan kita beropini meski berkoar-koar mengatasnamakan agama, mereka juga ’manusia sakit’ : ada yang pedofilia, menghujat manusia lain sebagai pendosa dengan tindakan ekstrim, dan anarkis.

Jenderal, mertua Amir, yang meskipun sesama ’kaum terbuang’, namun masih merasa punya strata lebih tinggi. Misalkan saat Amir mendekati sang putri, bagi sang mertua ia cuma ’penulis’. Bukan ’dokter’, sebuah profesi yang terdengar lebih bergengsi. Termasuk pula masih berpikir bahwa kaum Hazzara lebih hina. Adapula yang mengundang senyum, pada adegan kebencian ayah Amir terhadap komunis (Uni Soviet), membuat ayahnya langsung cabut dari ruang periksa, setelah ia tahu dokter yang memeriksanya imigran dari Rusia.

Film ini cukup rekomend- untuk ditonton. Sayapun jadi penasaran ingin membaca bukunya (sorry, saya pribadi kenapa yah? suka malas membaca buku yang sudah ada filmnya. Maksudnya, jika mendengar buku tsbt bakal difilmkan, ya sudah, saya tunggu saja filmnya).

(Gambar dikutip dari : www.entertainmentwallpaper.com)

Tidak ada komentar: