Penyunting : Khrisna Pabichara
Penerbit : Tekro Publishing – Bogor (Cetakan I-Juni 2010, Cetakan II-Agustus 2010)
Halaman : 72 + xii halaman
Menerbitkan buku tak selalu untuk menghasilkan uang. Ada alasan lain seperti memberikan informasi, pembelajaran dan kepuasan batin penulisnya. Buku juga bisa menjadi media pengenalan agar menumbuhkan minat pembaca terhadap suatu obyek.
Seperti buku Antologi Puisi – Roket Pun Bersyair ini memperkenalkan dan menumbuhkan minat terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), roket dan satelit.
Rencana buku antologi puisi non komersil ini, yang digagas oleh Atik Bintoro Sani (Man Atek) bakal dibagikan ke masyarakat pada acara-acara yang berkaitan dengan roket dan satelit, dipublikasikan kepada komunitas sastra via milis.
Komunitas sastra atau penulis puisi yang kini terbangun melalui jejaring dunia maya sepertinya menyambut antusias. Buktinya dari rencana menampung 45 puisi, pada buku terbitan Tekro Publishing justru memuat 58 puisi. Total sebanyak 29 pemuisi menyumbangkan karyanya.
Untuk pembuatan tulisan dengan tema sudah ditentukan pasti mengundang kesulitan tersendiri bagi pesertanya, bagaimana menerjemahkan tema menjadi sebuah karya yang enak dibaca tanpa meninggalkan tema besar.
Hasilnya menjadi sebuah antologi atau kumpulan puisi bergaya variatif. Ada yang menjadikan kata “roket” sebagai cantelan kata, wujud sebagaimana aslinya, dan adapula yang bersifat metafora.
Ambil contoh puisi “Di Perut Bunda Tiada Adenium yang Kupuja” dari Puti Sugih Arta samasekali tidak menyebut roket, dan berhasil melontarkan intepretasi pembaca.
Adapula yang bermain dalam singkat kata seperti Nisa Ayu Amalia dalam 2 karyanya. Coba simak “Pesan” yang sederhana, jenaka, tapi penutup yang touchy. Sebuah roket kembang api telah berhasil Nisa lontarkan, pecah di angkasa wusshh.. dan padam dibatas gravitasi.
Sementara karya Man Atek membuktikan bahwa pemuisi memang berada dalam dunia mesin roket dan satelit.
Puisi-puisi dari Lailatul Kiptiyah juga bergaya khas dirinya yang jago dalam merangkai kata hingga menjadi kalimat menguntai dalam satu baris.
Beberapa puisi menghasilkan metafora romantis atau sains pada “Aku adalah Satelit Hatimu”, “Romansa Satelit”, “Sang Penakluk”, atau “Mata Angkasa”. Dan masih ada puisi lain yang mengagumi jagad raya, langit dan angkasa sebagai obyek ramuan puisi.
Masih ada nama lain yang kerap ditemukan karyanya di blog, milis Bunga Matahari, fordisastra, kemudian.com, komunitas sastra lokal seperti Divin Nahb, St. Fatimah, Siu Elha, Atisatya Arifin, Gita Pratama, Dewi Retno Lestari Siregar, Edo Anggara, Putri Sarinande, Wory Kharisma, Arrizki Abidin, dan Khrisna Pabichara yang ikut berkontribusi dalam antologi ini.
Dengan ukurannya yang tipis dan seukuran buku saku sehingga mudah dibawa, kehadiran antologi ini membuktikan ranah sastra punya spektrum luas dan bisa memperkaya dunia iptek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar