Clash of the Titans (1981)
Pemain : Laurence Olivier, Maggie Smith, Harry Hamlin
Sutradara : Desmond Davis
***
Clash of the Titans (2010)
Pemain : Sam Worthington, Liam Neeson, Ralph Fienness, Gemma Arterton
Sutradara : Louis Leterrier
Jika sebelumnya di blog ini sudah ada resensi film Clash of the Titans (2010) dari teman saya, Toni. Maka saya ingin menulis sebagai penikmat film Clash of the Titans lawas yang kecewa atas hasil perekaan ulang filmnya.
Sebagai informasi, Clash of the Titans adalah film tahun 1981. Film ini diangkat dari legenda Yunani, tentang petualangan Perseus (Harry Hamlin) –anak Dewa Zeus (Laurence Olivier) yang dibesarkan di desa nelayan- menjalankan misi memenggal kepala Medusa sebelum jatuh hari ke-30. Jika melewati batas hari, maka putri Andromeda dari kerajaan Argos harus dipersembahkan kepada monster laut bernama Kraken.
Ini merupakan kutuk Dewi Thetis (Maggie Smith) akibat Cassiopea ibu dari Andromeda, berani berkata bahwa putrinya lebih cantik daripada Dewi Thetis yang mereka sembah. Selain itu Andromeda seharusnya menikah dengan anak Dewi Thetis, Calibos.
Dengan minimnya teknologi Computer Graphic Interface (CGI) pada saat itu, Clash’80-an berhasil menyuguhkan sebuah cerita fantasi yang kaya akan makhluk ganjil dan dunia ajaib sebagaimana penuturan dongeng, mengandalkan efek visual spesial. Sebagai contoh mereka membuat terlebih dahulu Kraken dalam ukuran boneka mainan umumnya, lalu dengan teknik kamera monster laut itu menjadi seukuran raksasa. Animator Ray Harryhausen yang menjadi creator dalam film King Kong (1933),dan Sinbad and the Eye of the Tiger (1977) berada dibalik kesuksesan visual canggih film ini.
Saya sendiri masih anak kecil saat film ini pertama kali beredar. Hanya mencuri lihat majalah Hai milik kakak berisi ulasan film tersebut lengkap bersama gambar-gambar yang membuat imajinasi dongeng saya bereaksi. Dan ternyata melekat dalam ingatan sehingga saya mencari versi DVD dan menontonnya pada pertengahan 2000-an.
Lalu ketika Clash (2010) tayang April lalu, ekspetasi utama saya adalah bagaimana semaraknya sebuah mitologi diterjemahkan oleh kemajuan teknologi CGI.
Apalagi, Sam Worthington didaulat memerankan tokoh utama Perseus. Hati kaum hawa-ku rasanya siap-siap meleleh melihat kegantengan pria Australia yang belakangan ini tampil di film-film yang banyak diperbincangkan seperti Terminator IV-Salvation dan Avatar.
Tapi ternyata… hmm, sorry to say, saya tidak menemukan greget komputer grafis dalam remake ini. Makhluk-makhluk seperti Kraken dan Medusa versi 80’an tak kalah pamor dengan yang terbaru.
Kawasan kaya cahaya matahari pun diganti dengan sudut cerita yang banyak menggunakan tone gelap. Akhirnya kesempatan menggunakan teknologi terkini kalah karena selera penulis skenario atau sutradara.
Dari sisi cerita terjadi perubahan. Tokoh jahat di Clash’10 adalah Hades, dewa bawah tanah sekaligus adik Zeus. Dan di versi yang terbaru, Perseus bukan jatuh cinta pada Andromeda. Ada Gemma Arterton yang cantik dan bening bak pualam, berperan sebagai wanita yang menohok hati si pria yang dibesarkan oleh nelayan itu.
Sisi pakaian? Jika di film lawas para dewa termasuk Zeus tampil mengilap, versi sekarang juga tak ada eksplorasi ide tentang penampilan para dewa. Malah terasa katrok ketika Zeus bagai penampilan rocker era 90-an dengan rambut gondrong, sepatu lars tinggi, dan berbinar-binar. Ini mengingatkan pada penampilan bapak si Superman yang diperankan oleh Marlon Brando di film lawasnya Superman.
Hades, adik kandung Zeus sekaligus musuh dalam selimut, bagai kembaran Saruman dari LoTR.
Terasa dangkal ketika Perseus yang tumbuh besar sebagai anak nelayan penjala ikan, langsung tokcer berlatih pedang. Ohya, dia kan “anak Dewa”.
Karakter istimewa –tentu saja- Medusa. Konon Medusa wanita cantik sebelum dikutuk dewa menjadi gadis berambut sekaligus berbadan ular. Siapapun yang memandang mata Medusa akan berubah menjadi batu. Ini adalah subyek menantang jika diterjemahkan dalam ilustrasi gambar. Tapi mewujudkannya dalam gambar nyata di film di era 80-an? Itu butuh teknik tersendiri yang membuat penonton jadi terpesona.
Dan bisa dikatakan sesi Medusa bertarung dengan Perseus merupakan adegan mempesona di Clash’80.
Salah satu pembelajaran dari dongeng adalah mengajarkan untuk panjang akal dalam menjalani hidup. Meskipun tokoh utama kalah kuat atau kalah besar dari lawan, akan tetapi berhasil menang berkat kecerdikan.
Namun kecerdikan Perseus mengintip gerakan Medusa melalui balik tameng sekaligus laga individual memakan durasi beberapa menit (versi Clash’80), diubah menjadi menonjolkan kerjasama tim dalam versi terbaru.
Dan satu lagi kekecewaan saya : Pegasus! Bagi penikmat dongeng, nama ini terdengar indah sekaligus visualisasi menarik bahwa Pegasus adalah kuda putih bersayap dan bisa terbang. Mungkin sama halnya jika kamu sudah lekat dengan imajinasi tentang Cyclop si raksasa mata satu.
Whoa! Tapi mengapa di versi 2010 : Pegasus menjadi Black Stallion terbang??? Alias kuda hitam bersayap. Saya jadi berpikir iseng bahwa penulis naskah mempertimbangkan lebih gagah jika kendaraan Perseus adalah kuda hitam sehingga terlihat lebih jantan. Bisa jadi karena Pegasus sudah identik sebagai lambang TriStar Pictures, kompetitor Warner Bros Pictures yang memproduseri film Clash’10 … haha…imho…
Baik. Saya mungkin melankoli kenangan atas film perdana. Akibat cerita dongeng yang plek plek berhasil diterjemahkan dalam bahasa gambar di Clash’80. Seperti seorang pembaca novel –didalam benak sudah ada ekspetasi khayal jika cerita difilmkan- ternyata tak menemukan greget sama saat menonton versi pembaharuan dari cerita yang sama.
Dalam versi Clash’10, Anda bisa jadi teringat film-film fantasi epik yang sudah dibuat sebelumnya seperti The Scorpion King, The Lord of The Rings (LoTR), atau Van Helsing.
Tapi sebagai catatan, cerita di versi 2010 lebih humanis ketimbang plot Clash 80’an yang sesuai pakem dongeng.
Dalam versi 80-an saat menonjolkan ketangguhan Perseus secara individu. Karena dia anak setengah dewa setengah manusia, tampil bak superhero atau sang penakluk. Ia banyak ditolong benda-benda ajaib yang dikirimkan oleh bapaknya, Zeus.
Burung besi, Bubo, sama sekali tak punya peranan. Ya. Era millennium tentu tak percaya gratifikasi benda ajaib dari dewa.
Pembaharuan skenario cerita yang humanis menonjolkan Perseus yang ingin menjadi manusia seutuhnya, mengalami luka fisik sekaligus luka batin, pernah pula merasa kecewa dengan yang Diatas.
Perseus sebagai makhluk sosial harus bekerjasama dengan orang lain untuk menunaikan misi memotong kepala Medusa sebelum gerhana matahari muncul, sebagai tanda putri Andromeda harus dipersembahkan kepada Kraken.
Makna lain yang bisa dipetik adalah tentang menggunakan strategi menghajar lawan tanpa menggunakan tangan sendiri.
Sebagai latar belakang, dahulu langit dikuasai oleh Titan yang memiliki tiga putra yaitu Zeus, Poseidon dan Hades. Ketiga kakak beradik ini berkonspirasi menggulingkan orangtuanya sendiri dimana Zeus memanfaatkan Hades untuk menyingkirkan Titan, sekaligus menelikung dan membuang Hades ke dunia bawah.
Siapa menanam dia akan menuai. Bak nasehat anak durhaka menggulingkan orangtua sendiri bakal kena karmanya, maka Zeus pun diincar dendam sang adik (Hades), penolakan pengakuan dari sang anak, dan kembali Zeus harus menyingkirkan musuh tanpa menggunakan kekuatan sendiri. Perseus adalah ‘senjata’ sang ayah untuk menyingkirkan Hades.
Hanya sayang akting Sam Worthington sangat kurang menonjolkan sisi dramatisasi manusia. Wajahnya nyaris sama sepanjang film meskipun dia mengalami kesedihan saat orangtua dan adik angkatnya mati tenggelam, atau saat menjadi manusia udik masuk kota, hingga menjadi calon pahlawan.
Aktingnya justru lebih menonjol saat berperan sebagai manusia cyborg berhati manusia di Terminator Salvation.
Memang toh saya menonton Clash’10 sebagai mengenang film lawas favorit, sekaligus menerapkan fungsi film : sebagai media hiburan.
Rabu, 26 Mei 2010
My Blueberry Nights
Waktu : 112 menit
Pemain : Jude Law, David Strathairn, Rachel Weisz, Natalie Portman,
Sutradara : Wong Kar Wai
(2007)
Film ini sendiri sebuah cerita cinta yang penuh bahasa gambar, menyajikan makna tersirat, dengan problematika masing-masing.
Cerita berawal di suatu malam di bar milik Jeremy (Jude Law). Perhatiannya terarah pada seorang pengunjung berwajah murung yang belakangan diketahui bernama Elizabeth alias Lizzy (Norah Jones). Tampak ia menggunakan telepon umum dan sikapnya dalam bercakap-cakap melalui telepon umum menunjukkan tengah terjadi baku emosi sengit.
Lizzy lalu menitipkan kunci apartemen kepada Jeremy. Hari-hari selanjutnya Lizzy rutin berkunjung ke bar hanya untuk menanyakan apakah kunci itu sudah diambil. Ia berharap suatu hari kunci tersebut diambil sang pacar (orang yang menjadi mitranya berbicara di telepon umum).
Hanya sia-sia. Kunci itu tak pernah diambil. Jeremy menunjukkan sebuah toples bening penuh berisi kunci yang tak diambil pemiliknya. Jadi, Lizzy adalah orang kesekian dengan kejadian sama. Lizzy pun memutuskan berkelana. Kerja double-shift di dua restoran demi mengumpulkan uang untuk membeli mobil. Melanglang mengikuti jalur yang terkenal dengan istilah Route 66, seperti New York, Memphis, Nevada, dan Las Vegas.
Dalam petualangannya ia menjadi pengamat kisah cinta bermacam-macam karakter. Seperti kisah cinta bertepuk sebelah tangan antara Arnie dan Sue Lynne (Rachel Weisz). Lalu bertemu penjudi, Leslie (Natalie Portman) dan menjadi sahabat seperjalanan. Cinta Leslie ditujukan kepada ayahnya sekaligus gurunya belajar memainkan kartu termasuk trick permainan.
Dan setahun kemudian Lizzy kembali ke New York. Kembali ke bar dan menemui Jeremy.
“Kamu mengingatku seperti apa? Sebagai gadis yang menyukai blueberry pie, atau sebagai gadis yang patah hati?” demikian pertanyaan Lizzy kepada Jeremy. Selama setahun pergi, Lizzy rajin mengirimkan kartu pos tanpa alamat kepada Jeremy.
Lalu film pun ditutup dengan ciuman antara Lizzy dan Jeremy yang digambarkan dalam lumernya es krim vanilla di kue blueberry yang senantiasa dikudap Lizzy saat berkunjung ke bar.
Sebuah film berdurasi sekitar 1 jam 52 menit seolah putaran scene yang datar. Tapi inilah gaya Wong Kar-Wai yang senang bermain dalam bahasa gambar.
Contoh bahasa gambar lain adalah pada saat Lizzy pulang ke New York. Sebelum memasuki bar, terpampang snapshot wanita ini pulang sembari membawa tas Louis Vuitton berukuran besar–merek mahal menandakan keberhasilan merantau cari uang- memasuki restoran Jeremy.
Silahkan memaknai inilah cinta sebenarnya yang butuh waktu untuk menyadari kehadirannya.
Selama kurang dari 2 jam, penonton disuguhkan cerita yang datar, tanpa gejolak dan ledakan, semelankolis wajah Lizzy. Film ini merupakan aksi perdana penyanyi peraih Grammy Award, Norah Jones.
Pemain : Jude Law, David Strathairn, Rachel Weisz, Natalie Portman,
Sutradara : Wong Kar Wai
(2007)
Berbeda dengan penulis skenario dan sutradara Cina umumnya yang larut dalam film aksi, Wong Kar-Wai malah senang menyajikan drama-drama romantis.
Belajar desain grafis di Hong Kong, pria kelahiran Shanghai Cina pada 1958 ini merintis jalan ke perfilman melalui film-film drama televisi. Ia menjadi penulis skenario sekaligus sutradara. Film My Blueberry Nights (2007) merupakan film bahasa Inggrisnya yang pertama.
Cerita berawal di suatu malam di bar milik Jeremy (Jude Law). Perhatiannya terarah pada seorang pengunjung berwajah murung yang belakangan diketahui bernama Elizabeth alias Lizzy (Norah Jones). Tampak ia menggunakan telepon umum dan sikapnya dalam bercakap-cakap melalui telepon umum menunjukkan tengah terjadi baku emosi sengit.
Lizzy lalu menitipkan kunci apartemen kepada Jeremy. Hari-hari selanjutnya Lizzy rutin berkunjung ke bar hanya untuk menanyakan apakah kunci itu sudah diambil. Ia berharap suatu hari kunci tersebut diambil sang pacar (orang yang menjadi mitranya berbicara di telepon umum).
Hanya sia-sia. Kunci itu tak pernah diambil. Jeremy menunjukkan sebuah toples bening penuh berisi kunci yang tak diambil pemiliknya. Jadi, Lizzy adalah orang kesekian dengan kejadian sama. Lizzy pun memutuskan berkelana. Kerja double-shift di dua restoran demi mengumpulkan uang untuk membeli mobil. Melanglang mengikuti jalur yang terkenal dengan istilah Route 66, seperti New York, Memphis, Nevada, dan Las Vegas.
Dalam petualangannya ia menjadi pengamat kisah cinta bermacam-macam karakter. Seperti kisah cinta bertepuk sebelah tangan antara Arnie dan Sue Lynne (Rachel Weisz). Lalu bertemu penjudi, Leslie (Natalie Portman) dan menjadi sahabat seperjalanan. Cinta Leslie ditujukan kepada ayahnya sekaligus gurunya belajar memainkan kartu termasuk trick permainan.
Dan setahun kemudian Lizzy kembali ke New York. Kembali ke bar dan menemui Jeremy.
“Kamu mengingatku seperti apa? Sebagai gadis yang menyukai blueberry pie, atau sebagai gadis yang patah hati?” demikian pertanyaan Lizzy kepada Jeremy. Selama setahun pergi, Lizzy rajin mengirimkan kartu pos tanpa alamat kepada Jeremy.
Lalu film pun ditutup dengan ciuman antara Lizzy dan Jeremy yang digambarkan dalam lumernya es krim vanilla di kue blueberry yang senantiasa dikudap Lizzy saat berkunjung ke bar.
Sebuah film berdurasi sekitar 1 jam 52 menit seolah putaran scene yang datar. Tapi inilah gaya Wong Kar-Wai yang senang bermain dalam bahasa gambar.
Contoh bahasa gambar lain adalah pada saat Lizzy pulang ke New York. Sebelum memasuki bar, terpampang snapshot wanita ini pulang sembari membawa tas Louis Vuitton berukuran besar–merek mahal menandakan keberhasilan merantau cari uang- memasuki restoran Jeremy.
Silahkan memaknai inilah cinta sebenarnya yang butuh waktu untuk menyadari kehadirannya.
Selama kurang dari 2 jam, penonton disuguhkan cerita yang datar, tanpa gejolak dan ledakan, semelankolis wajah Lizzy. Film ini merupakan aksi perdana penyanyi peraih Grammy Award, Norah Jones.
Minggu, 18 April 2010
Detektif Conan ke-56
Penulis : Aoyama Gosho
Penerbit : PT Elex Media Komputindo – Jakarta (Cetakan I : 2010)
Ngakunya sudah jenuh, tapi ternyata rasa penasaran lebih besar, dan terlanjur gandrung mengikuti kisah Detektif Conan.
Sejak awal April 2010, Anda sudah bisa menemukan komik Detektif Conan serial No. 56 di toko buku dan kios majalah.
Cerita pertama tentang memecahkan kasus ruang tertutup (lagi). Jika rutin mengikuti petualangan bocah bernama Conan Edogawa, pembaca menemukan istilah ‘kasus ruang tertutup’, yaitu modus pembunuhan dimana korban ditemukan di dalam ruangan tertutup misalkan di kamar tidur tanpa ada jejak dari pembunuh, kamar dan jendela terkunci sehingga seolah tak mungkin ada seseorang masuk ke dalam ruangan tersebut. Sehingga ketika korban ditemukan pertama kali, seolah terlihat mati bunuh diri, atau meninggal secara wajar.
Saya kemukakan kata “lagi” karena jika rajin mengikuti serial ini, pembaca berkali-kali pula menemukan kasus semacam ini. Hanya beda trik dan benda yang dipergunakan untuk membantu pelaku menyelesaikan pekerjaannya.
Kali ini korban bernama Masataka Moroguchi, penulis novel misteri berusia 52 tahun. Dari awal cerita sudah ditampakkan tabiat Moroguchi yang tak simpatik sehingga sudah pasti mengundang musuh sakit hati.
Rencananya, bakal berlangsung dialog antara Moroguchi dengan Detektif Kogoro Mouri yang diliput oleh Kakuji Dejima (penulis), Wataru Tarumi (juru kamera) dan Harue Anabuki (redaksi majalah). Kogoro Mouri adalah ayah Ran dimana di rumahnya Conan numpang tinggal.
Ternyata besok paginya Moroguchi ditemukan telah meninggal di dalam kamar tidurnya yang terkunci. Ketiga tersangka masing-masing punya peralatan kerja andalan yang bisa menjadi senjata pembunuh. Sebuah cerita menarik sebagai pembuka komik ini secara keseluruhan. Selanjutnya adalah pemecahan kasus melibatkan Detektif Cilik, yang beranggotakan Conan dan teman-teman satu sekolahnya.
Cerita terakhir adalah bagian dari memecahkan masa lalu murid pindahan teman Ran dan Sonoko, Eisuke Hondo, yang dalam beberapa seri sebelumnya terlihat samar. Hingga menutup bacaan, tetap menggantung, dan tetap tidak menarik. Karena secara pribadi, menurut saya, kehadiran Eisuke dari awal terlalu dipaksakan :-)
Penerbit : PT Elex Media Komputindo – Jakarta (Cetakan I : 2010)
Ngakunya sudah jenuh, tapi ternyata rasa penasaran lebih besar, dan terlanjur gandrung mengikuti kisah Detektif Conan.
Sejak awal April 2010, Anda sudah bisa menemukan komik Detektif Conan serial No. 56 di toko buku dan kios majalah.
Cerita pertama tentang memecahkan kasus ruang tertutup (lagi). Jika rutin mengikuti petualangan bocah bernama Conan Edogawa, pembaca menemukan istilah ‘kasus ruang tertutup’, yaitu modus pembunuhan dimana korban ditemukan di dalam ruangan tertutup misalkan di kamar tidur tanpa ada jejak dari pembunuh, kamar dan jendela terkunci sehingga seolah tak mungkin ada seseorang masuk ke dalam ruangan tersebut. Sehingga ketika korban ditemukan pertama kali, seolah terlihat mati bunuh diri, atau meninggal secara wajar.
Saya kemukakan kata “lagi” karena jika rajin mengikuti serial ini, pembaca berkali-kali pula menemukan kasus semacam ini. Hanya beda trik dan benda yang dipergunakan untuk membantu pelaku menyelesaikan pekerjaannya.
Kali ini korban bernama Masataka Moroguchi, penulis novel misteri berusia 52 tahun. Dari awal cerita sudah ditampakkan tabiat Moroguchi yang tak simpatik sehingga sudah pasti mengundang musuh sakit hati.
Rencananya, bakal berlangsung dialog antara Moroguchi dengan Detektif Kogoro Mouri yang diliput oleh Kakuji Dejima (penulis), Wataru Tarumi (juru kamera) dan Harue Anabuki (redaksi majalah). Kogoro Mouri adalah ayah Ran dimana di rumahnya Conan numpang tinggal.
Ternyata besok paginya Moroguchi ditemukan telah meninggal di dalam kamar tidurnya yang terkunci. Ketiga tersangka masing-masing punya peralatan kerja andalan yang bisa menjadi senjata pembunuh. Sebuah cerita menarik sebagai pembuka komik ini secara keseluruhan. Selanjutnya adalah pemecahan kasus melibatkan Detektif Cilik, yang beranggotakan Conan dan teman-teman satu sekolahnya.
Cerita terakhir adalah bagian dari memecahkan masa lalu murid pindahan teman Ran dan Sonoko, Eisuke Hondo, yang dalam beberapa seri sebelumnya terlihat samar. Hingga menutup bacaan, tetap menggantung, dan tetap tidak menarik. Karena secara pribadi, menurut saya, kehadiran Eisuke dari awal terlalu dipaksakan :-)
Sabtu, 03 April 2010
ayo berlatih dengan sang naga!

film animasi yang diangkat dari novel karangan Cressida Cowell mengambil setting bangsa Viking yang melatih anak-anak mereka bagaimana menaklukkan aneka macam naga. dengan demikian mereka mewariskan kebencian manusia terhadap mahluk reptil itu. berbagai latihan dan manual mereka pelajari untuk dapat membunuh naga. namun, Hiccup anak sang kepala suku punya cara yang aneh, alih-alih mengacungkan pedang, ia malahan melepaskan semua persenjataannya maju mendekati sang naga dan membelai-belainya. teknik ini dipelajari dari perjumpaannya dengan Toothless, seekor naga Night Fury berwarna biru dengan mata besar (mengapa wajahnya mengingatkan pada Lilo and Stitch?). Toothless ditemukannya di dekat danau dan tidak dapat terbang ke mana-mana karena sebelah sayap pada ekornya telah tiada.
Hiccup belajar banyak mengenai naga dari Toothless, lebih dari itu ia belajar mengenal dunia nan luas karena kemudian dapat menunggang sang naga terbang. Astrid yang memusuhi Hiccup dan menjadi pesaingnya dalam pelajaran menaklukkan naga, akhirnya mengetahui rahasia ini. Toothless membawa mereka berdua terbang tinggi, mengajari mereka mengenai arti persahabatan, dan menunjukkan sebuah rahasia besar di dunia naga. lihatlah bagaimana reaksi Astrid kemudian:
Astrid: [sambil meninju Hiccup] That's for kidnapping me.
[kemudian mencium Hiccup] Astrid: That's for everything else.
akankah prasangka dan tradisi bangsa Viking sebagai penakluk naga akan berubah? bagaimana Hiccup berjuang membela Toothless dari pembantaian?
film ini layak ditonton sebagai hiburan keluarga yang memberikan pelajaran mengenai prasangka, kebanggaan, serta nilai-nilai persahabatan.
untuk itu menurut saya ia layak mendapat nilai 8 dari 10.
Kamis, 01 April 2010
pertarungan para dewa

penduduk kerajaan Argos menumbangkan patung mahadewa Zeus ke dasar laut. hal ini menimbulkan kemarahan Hades adik Zeus yang menguasai alam neraka (underworld). ia meluluhlantakkan pasukan Argos dan berjanji akan melepaskan sang monster Kraken tepat saat gerhana matahari untuk menghukum manusia yang tidak lagi menghormati para dewa.
Perseus sebagai manusia setengah dewa (karena Zeus ayahnya), ikut serta sebagai pasukan Argos melawan Hades. kalajengking raksasa, perjumpaan dengan para penyihir, dan perjalanan mereka ke underworld untuk mencari Hermes, puteri cantik berbadan ular dengan rambut terdiri ratusan ular itu benar-benar mendebarkan. jangan coba-coba melirik dan memandang mata Hermes! sudah banyak prajurit yang menjadi patung batu dibuatnya!
film ini berhasil menyajikan gambar-gambar indah dunia mitologi Yunani. tak luput para puteri nan cantik rupawan: Andromeda dan Io (endingnya belum jelas mengenai siapa jodoh Perseus). namun kesan film Avatar dan Harry Potter mengapa sangat terasa di film ini? mungkin karena Sam Worthington pemeran utamanya, dan Ralph Fiennes (si Voldemort) berperan sebagai Hades yang jahat itu yaaa...
secara keseluruhan, film ini layak mendapat nilai 8 dari 10.
Minggu, 07 Februari 2010
Rumah Dara
Pemain : Julie Estelle, Ario Bayu, Sigi Wimala, Shareefa Danish Sutradara : Timo Tjahjanto
Dalam dunia sinema dikenal istilah film-film bergenre Slasher, dimana tokoh antagonis bukan hantu, melainkan manusia yang mengalami gangguan jiwa seperti psikopat.
Sebut saja sebagai contoh adalah Halloween, My Bloody Valentine, Jason, atau Saw. Sudah pasti di film-film seperti ini mandi darah, teriak histeris korban, selain pisau, clurit, kapak hingga gergaji listrik sebagai senjata pembunuh bakal menjadi tontonan.
Tapi untuk film Indonesia, sepertinya genre slasher masih jarang atau bisa dikatakan belum ada.
Oke, alasan saya menonton ini karena penasaran ingin ‘menyaksikan’ film genre terror jiwa dalam citarasa film lokal. Alasan kedua, saya yang berniat marathon nonton dari satu studio ke studio lain ternyata salah lokasi. Niat utama mencari “Sherlock Holmes” yang memang sudah tidak gres lagi di bioskop.
Sudah baca jadwal dan lokasi bioskop, tapi ternyata saya salah membedakan antara Blok M Square vs Blok M Plaza. Kadung berada di depan loket….walaupun sempat bertanya dengan mbak penjaga tiket yang menjelaskan kesalahan saya...akhirnya menonton film berdurasi satu jam lebih ini.
Film Rumah Dara dibuka dengan pasangan suami istri Adjie (Ario Bayu) dan Astrid (Sigi Wimala) dan teman-temannya datang menemui Ladya (Julie Estelle) di tempat kerja.
Hubungan sepasang kakak beradik Adjie dan Ladya tak harmonis sejak kedua orangtua mereka meninggal kecelakaan. Ladya menyalahkan Adjie sebagai penyebab kecelakaan yang dialami oleh orangtua mereka, dan memilih bekerja sebagai pelayan bar ketimbang bergantung pada sang kakak.
Adjie pamit mau berangkat ke Australia untuk bekerja disana. Dan berharap Ladya mau menghentikan permusuhan, kuliah dan malam itu ikut mengantarkan sang kakak ke bandara. Total di dalam mobil berisi 6 orang bersama teman-teman Adjie.
Di tengah jalan, mereka bertemu wanita misterius Maya yang mengaku dirampok dan bingung pulang ke rumah. Maya mengatakan kebetulan rumahnya dilalui dalam perjalanan dari Bandung menuju Jakarta.
Tiba di rumah Maya, mereka berkenalan dengan sang ibu yang bernama Dara (Shareefa Daanish) dan dua kakak lelakinya.
“Rumahnya gaya old school banget,” lebih kurang demikian komentar teman yang diperankan oleh VJ Daniel. Tak hanya rumah bergaya kolonial yang di tengah hutan, perkataan seperti itu memang mewakili gaya keseluruhan keluarga dan rumah Dara. Penampilan ibu berbaju potong pinggang dilapis cardigans dan gelung cepol, saudara lelaki klimis pomade, radio transistor, dan alat pemutar film gaya dulu.
Sebagai ucapan terimakasih telah menolong sang putri, Dara mengajak para tamu untuk makan dulu sebelum melanjutkan perjalanan. Makan sambil bersantap anggur dan mengunyah hidangan yang menurut Ladya dan kawan-kawannya belum pernah mereka menyantap rasa daging seperti yang disuguhkan saat itu.
Belum habis makanan disantap, para tamu merasa pusing dan pingsan. Saat mereka tersadar, terjadi hal-hal yang tak mereka bayangkan sebelumnya.
Teror penyekapan, darah berceceran dimana-mana, jagal tubuh manusia, pisau hingga gergaji listrik menjadi sajian di dalam cerita. Sutradara pun tak sungkan untuk menampilkan mata tercolok pensil, jari terpotong dan lengan tersayat.
Dalam satu adegan terjadi kejar-kejaran di hutan hingga salah satu teman Ladya berhasil ditemukan di jalan oleh polisi patroli. Empat orang polisi pun menuju rumah Dara untuk minta konfirmasi. Penampilan polisi sangat main-main. Aneh juga cara sang kepala polisi memperkenalkan diri, “Saya Sherif…” mmm apakah Indonesia mengenal jabatan Sherif dalam kepolisian? Atau maksudnya nama pak polisi itu Sherif?
Lalu seandainya Ladya dan kawan-kawan melihat cincin batu besar yang dikenakan Maya, mereka tentu berpikir ulang untuk menolong, karena mengapa tak sekalian cincin itu dirampok? (tapi cerita ga bakal lanjut dong…..).
Dalam percakapan di meja makan terjadi pula diskusi dalam bahasa Belanda antara ibu Dara bersama anak-anaknya. Seolah memberi nafas inlander, tapi sayangnya tak diberi terjemahan teks dalam bahasa Indonesia. Padahal, pasti penonton yang mampu berbahasa Belanda sangat jarang.
Permusuhan antar kakak beradik yang kemudian mencair karena bahu membahu menyelamatkan diri pun mengingatkan akan sepasang kembar tokoh utama di film House of Wax.
Secara keseluruhan jalan cerita film cukup rapi. Kebingungan penonton mengapa wajah Dara yang terlihat awet muda tanpa kerut, terjawab menjelang akhir film. Kilas balik masa lalu disajikan dalam hitam putih turut mudah dipahami.
Tujuan film ini sebagai genre slasher-thriller yang membuat penonton duduk diam sembari bergidik cukup berhasil. Sehingga saya beri nilai 8 dari total penilaian 10. Jika Anda tak kuat melihat darah yang berceceran dimana-mana atau adegan sadis, film ini tak layak Anda tonton, apalagi bukan untuk menghibur.
Balthasar’s Odyssey – Nama Tuhan yang Keseratus
Penulis : Amin Maalouf Penerbit : PT Serambi Ilmu Semesta (Cetakan II : November 2006)
Halaman : 618 halaman
“TERKUTUKLAH ANGKA-angka itu dan mereka yang mempergunakannya!” (maki Balthasar di halaman 131).
Masih ingat film 2012? Film itu mengisahkan bumi yang hancur akibat peningkatan suhu matahari yang menyebabkan matahari memancarkan neutrinos ke bumi dan menimbulkan pemanasan pada kerak bumi.
Ide skenario film terinspirasi ramalan suku Maya bahwa bumi bakal kiamat pada 2012.
Lalu film The Omen –anak setan dalam wujud manusia dengan tanda di kulit kepalanya tertera “666”.
Angka memang menarik dikutak-katik sebagai pertanda, sebuah bahasa enkripsi, atau kejadian luar biasa. Angka dan tentang ketakutan manusia akan akhir dunia ini yang diolah oleh Amin Maalouf dalam cerita bergenre fiksi “Balthasar’s Odyssey”.
Gaya cerita dituturkan dalam bentuk jurnal (diari) dari sudut pandang Balthasar Embriaco seorang pedagang buku di Gibelet Lebanon. Menjelang tahun 1666 pria keturunan Genoa (Italia) itu melakukan perjalanan mencari buku “Nama Tuhan yang keseratus”.
Pada saat itu beredar kepercayaan bahwa kiamat akan terjadi pada 1666. Tahun kiamat ini dicetuskan dari kepercayaan Yahudi. Di dalam Zohar, kitab para penganut kabalisme, dituliskan bahwa pada tahun 5408 mereka yang terbaring di dalam tanah akan bangkit. Dalam penanggalan Yahudi, tahun tersebut sama dengan tahun 1648 Masehi.
Lalu mengapa peristiwa yang sudah diprediksi pada 1648 justru baru akan terjadi pada 1666? Terjadi jarak selama 18 tahun – sebuah penjumlahan dari angka 6 + 6 + 6.
Dan kiamat bisa dicegah jika saja manusia mengetahui nama Tuhan yang keseratus. Angka ini merujuk dari 99 nama Tuhan yang ada di Al Quran dan memancing pertanyaan di dalam benak orang yang penasaran : adakah nama Tuhan yang keseratus untuk menggenapkan angka itu.
Sehingga banyak yang menaruh harap pemecahannya ada di buku “Nama Tersembunyi yang Tak Terungkap” atau disebut juga “Nama yang Keseratus” karya Mazandarani.
Secara tak sengaja buku itu jatuh ke tangan Balthasar, sebagai pemberian tetangga miskin yang ditolong olehnya. Namun sebelum buku sempat dibaca, utusan Raja Perancis, Chevalier Marmontel melihat serta langsung membelinya dengan harga tinggi dan dibawa berlayar ke Konstantinopel.
Selain atas desakan keponakannya Boumeh, Balthasar merasa bersalah seolah tidak mampu memegang amanat pemberian orang kepadanya. Ia memutuskan membeli kembali buku tersebut dari tangan Chevalier Marmontel.
Akhirnya berangkatlah Balthasar bersama kedua keponakan dan pembantu setianya menyusul sang Chevalier ke Konstantinopel (Istambul). Dalam perjalanan rombongan kecilnya pun mendapat tambahan Marta, anak tukang cukur langganan Balthasar sekaligus cinta terpendam di masa lalu.
Hingga menamatkan buku ini, pembaca bukan lagi penasaran apakah ramalan terbukti, atau penemuan nama Tuhan keseratus yang pada kenyataan memang hingga detik ini tak kita ketahui.
Akan tetapi justru tentang Balthasar yang keluar dari ‘zona nyaman’ di Gibelet. Dalam perjalanannya sering terbersit perasaan bersalah hingga memaki diri mengapa ia menuruti ide anak ingusan Boumeh, lalu meninggalkan tokonya yang sudah terkenal selama empat generasi.
Namun dalam dua tahun perjalanan, dia menemukan banyak hal. Mengalami berbagai peristiwa, mengenal berbagai karakter manusia, aparat pemerintahan yang korup, teman lintas agama, bahkan cinta.
Pelajaran yang bisa dipetik adalah mengumpamakan diri bagai di dalam ‘kepompong’, kita tak tahu bahwa diluar banyak kejadian menarik, bahagia, seru, mengharukan bahkan menyeramkan yang bisa menjadi pengalaman hidup. Dan seperti Balthasar, hidupnya berubah total.
Dalam novel setebal 618 halaman mengambil setting abad pertengahan, ketika kekuasaan kesultanan dan muslim masih berjaya di kawasan Asia barat daya, sementara di Eropa sendiri terpecah antara berbagai aliran Kristen. Dalam buku ini juga banyak dibantu oleh catatan kaki di bagian paling bawah halaman , ini membantu pembaca memahami istilah dan latar sejarah.
Meskipun ada ganjalan pertanyaan mengapa terdapat perbedaan penulisan nama antara sinopsis di bagian belakang buku (Baldassare), judul sekaligus di dalam tulisan (Balthasar) akan tetapi bukan masalah.
Langganan:
Postingan (Atom)