Rabu, 26 Mei 2010

Clash of the Titans : Membandingkan Versi 1981 dan 2010

Clash of the Titans (1981)

Pemain : Laurence Olivier, Maggie Smith, Harry Hamlin
Sutradara : Desmond Davis


***

Clash of the Titans (2010)
Pemain : Sam Worthington, Liam Neeson, Ralph Fienness, Gemma Arterton
Sutradara : Louis Leterrier




Jika sebelumnya di blog ini sudah ada resensi film Clash of the Titans (2010) dari teman saya, Toni. Maka saya ingin menulis sebagai penikmat film Clash of the Titans lawas yang kecewa atas hasil perekaan ulang filmnya.

Sebagai informasi, Clash of the Titans adalah film tahun 1981. Film ini diangkat dari legenda Yunani, tentang petualangan Perseus (Harry Hamlin) –anak Dewa Zeus (Laurence Olivier) yang dibesarkan di desa nelayan- menjalankan misi memenggal kepala Medusa sebelum jatuh hari ke-30. Jika melewati batas hari, maka putri Andromeda dari kerajaan Argos harus dipersembahkan kepada monster laut bernama Kraken.

Ini merupakan kutuk Dewi Thetis (Maggie Smith) akibat Cassiopea ibu dari Andromeda, berani berkata bahwa putrinya lebih cantik daripada Dewi Thetis yang mereka sembah. Selain itu Andromeda seharusnya menikah dengan anak Dewi Thetis, Calibos.

Dengan minimnya teknologi Computer Graphic Interface (CGI) pada saat itu, Clash’80-an berhasil menyuguhkan sebuah cerita fantasi yang kaya akan makhluk ganjil dan dunia ajaib sebagaimana penuturan dongeng, mengandalkan efek visual spesial. Sebagai contoh mereka membuat terlebih dahulu Kraken dalam ukuran boneka mainan umumnya, lalu dengan teknik kamera monster laut itu menjadi seukuran raksasa. Animator Ray Harryhausen yang menjadi creator dalam film King Kong (1933),dan Sinbad and the Eye of the Tiger (1977) berada dibalik kesuksesan visual canggih film ini.

Saya sendiri masih anak kecil saat film ini pertama kali beredar. Hanya mencuri lihat majalah Hai milik kakak berisi ulasan film tersebut lengkap bersama gambar-gambar yang membuat imajinasi dongeng saya bereaksi. Dan ternyata melekat dalam ingatan sehingga saya mencari versi DVD dan menontonnya pada pertengahan 2000-an.

Lalu ketika Clash (2010) tayang April lalu, ekspetasi utama saya adalah bagaimana semaraknya sebuah mitologi diterjemahkan oleh kemajuan teknologi CGI.

Apalagi, Sam Worthington didaulat memerankan tokoh utama Perseus. Hati kaum hawa-ku rasanya siap-siap meleleh melihat kegantengan pria Australia yang belakangan ini tampil di film-film yang banyak diperbincangkan seperti Terminator IV-Salvation dan Avatar.

Tapi ternyata… hmm, sorry to say, saya tidak menemukan greget komputer grafis dalam remake ini. Makhluk-makhluk seperti Kraken dan Medusa versi 80’an tak kalah pamor dengan yang terbaru.

Kawasan kaya cahaya matahari pun diganti dengan sudut cerita yang banyak menggunakan tone gelap. Akhirnya kesempatan menggunakan teknologi terkini kalah karena selera penulis skenario atau sutradara.

Dari sisi cerita terjadi perubahan. Tokoh jahat di Clash’10 adalah Hades, dewa bawah tanah sekaligus adik Zeus. Dan di versi yang terbaru, Perseus bukan jatuh cinta pada Andromeda. Ada Gemma Arterton yang cantik dan bening bak pualam, berperan sebagai wanita yang menohok hati si pria yang dibesarkan oleh nelayan itu.

Sisi pakaian? Jika di film lawas para dewa termasuk Zeus tampil mengilap, versi sekarang juga tak ada eksplorasi ide tentang penampilan para dewa. Malah terasa katrok ketika Zeus bagai penampilan rocker era 90-an dengan rambut gondrong, sepatu lars tinggi, dan berbinar-binar. Ini mengingatkan pada penampilan bapak si Superman yang diperankan oleh Marlon Brando di film lawasnya Superman.

Hades, adik kandung Zeus sekaligus musuh dalam selimut, bagai kembaran Saruman dari LoTR.

Terasa dangkal ketika Perseus yang tumbuh besar sebagai anak nelayan penjala ikan, langsung tokcer berlatih pedang. Ohya, dia kan “anak Dewa”.

Karakter istimewa –tentu saja- Medusa. Konon Medusa wanita cantik sebelum dikutuk dewa menjadi gadis berambut sekaligus berbadan ular. Siapapun yang memandang mata Medusa akan berubah menjadi batu. Ini adalah subyek menantang jika diterjemahkan dalam ilustrasi gambar. Tapi mewujudkannya dalam gambar nyata di film di era 80-an? Itu butuh teknik tersendiri yang membuat penonton jadi terpesona.

Dan bisa dikatakan sesi Medusa bertarung dengan Perseus merupakan adegan mempesona di Clash’80.

Salah satu pembelajaran dari dongeng adalah mengajarkan untuk panjang akal dalam menjalani hidup. Meskipun tokoh utama kalah kuat atau kalah besar dari lawan, akan tetapi berhasil menang berkat kecerdikan.

Namun kecerdikan Perseus mengintip gerakan Medusa melalui balik tameng sekaligus laga individual memakan durasi beberapa menit (versi Clash’80), diubah menjadi menonjolkan kerjasama tim dalam versi terbaru.

Dan satu lagi kekecewaan saya : Pegasus! Bagi penikmat dongeng, nama ini terdengar indah sekaligus visualisasi menarik bahwa Pegasus adalah kuda putih bersayap dan bisa terbang. Mungkin sama halnya jika kamu sudah lekat dengan imajinasi tentang Cyclop si raksasa mata satu.

Whoa! Tapi mengapa di versi 2010 : Pegasus menjadi Black Stallion terbang??? Alias kuda hitam bersayap. Saya jadi berpikir iseng bahwa penulis naskah mempertimbangkan lebih gagah jika kendaraan Perseus adalah kuda hitam sehingga terlihat lebih jantan. Bisa jadi karena Pegasus sudah identik sebagai lambang TriStar Pictures, kompetitor Warner Bros Pictures yang memproduseri film Clash’10 … haha…imho…

Baik. Saya mungkin melankoli kenangan atas film perdana. Akibat cerita dongeng yang plek plek berhasil diterjemahkan dalam bahasa gambar di Clash’80. Seperti seorang pembaca novel –didalam benak sudah ada ekspetasi khayal jika cerita difilmkan- ternyata tak menemukan greget sama saat menonton versi pembaharuan dari cerita yang sama.

Dalam versi Clash’10, Anda bisa jadi teringat film-film fantasi epik yang sudah dibuat sebelumnya seperti The Scorpion King, The Lord of The Rings (LoTR), atau Van Helsing.

Tapi sebagai catatan, cerita di versi 2010 lebih humanis ketimbang plot Clash 80’an yang sesuai pakem dongeng.

Dalam versi 80-an saat menonjolkan ketangguhan Perseus secara individu. Karena dia anak setengah dewa setengah manusia, tampil bak superhero atau sang penakluk. Ia banyak ditolong benda-benda ajaib yang dikirimkan oleh bapaknya, Zeus.

Burung besi, Bubo, sama sekali tak punya peranan. Ya. Era millennium tentu tak percaya gratifikasi benda ajaib dari dewa.

Pembaharuan skenario cerita yang humanis menonjolkan Perseus yang ingin menjadi manusia seutuhnya, mengalami luka fisik sekaligus luka batin, pernah pula merasa kecewa dengan yang Diatas.

Perseus sebagai makhluk sosial harus bekerjasama dengan orang lain untuk menunaikan misi memotong kepala Medusa sebelum gerhana matahari muncul, sebagai tanda putri Andromeda harus dipersembahkan kepada Kraken.

Makna lain yang bisa dipetik adalah tentang menggunakan strategi menghajar lawan tanpa menggunakan tangan sendiri.

Sebagai latar belakang, dahulu langit dikuasai oleh Titan yang memiliki tiga putra yaitu Zeus, Poseidon dan Hades. Ketiga kakak beradik ini berkonspirasi menggulingkan orangtuanya sendiri dimana Zeus memanfaatkan Hades untuk menyingkirkan Titan, sekaligus menelikung dan membuang Hades ke dunia bawah.

Siapa menanam dia akan menuai. Bak nasehat anak durhaka menggulingkan orangtua sendiri bakal kena karmanya, maka Zeus pun diincar dendam sang adik (Hades), penolakan pengakuan dari sang anak, dan kembali Zeus harus menyingkirkan musuh tanpa menggunakan kekuatan sendiri. Perseus adalah ‘senjata’ sang ayah untuk menyingkirkan Hades.

Hanya sayang akting Sam Worthington sangat kurang menonjolkan sisi dramatisasi manusia. Wajahnya nyaris sama sepanjang film meskipun dia mengalami kesedihan saat orangtua dan adik angkatnya mati tenggelam, atau saat menjadi manusia udik masuk kota, hingga menjadi calon pahlawan.

Aktingnya justru lebih menonjol saat berperan sebagai manusia cyborg berhati manusia di Terminator Salvation.

Memang toh saya menonton Clash’10 sebagai mengenang film lawas favorit, sekaligus menerapkan fungsi film : sebagai media hiburan.

Tidak ada komentar: