Sabtu, 05 Mei 2012

The Avengers


Pemain: Robert Downey Jr., Chris Evans, dan Scarlett Johansson
Sutradara: Joss Whedon
Waktu: 142 menit
(2012)

Pada film The League of Extraordinary Gentlemen (2003) dengan masa peralihan abad ke-19 menuju 20, Allan Quatermain (diperankan oleh Sean Connery) mengumpulkan karakter fantasi dari karya sastra klasik, mulai dari penjelajah samudera Captain Nemo, Dr. Jekyll and Mr. Hyde, vampir Mina Harker, The Invisible Man,  Dorian Gray, hingga Tom Sawyer untuk  melawan penjahat besar James Moriarty (M).

Nah, tugas Allan Quatermain ini sama seperti Nick Fury (Samuel L. Jackson) dari organisasi penjaga perdamaian internasional S.H.I.E.L.D  yang mengumpulkan manusia super yang tergabung dalam The Avengers untuk menyelamatkan bumi dari invasi Loki dan pasukannya.

The Avengers adalah super hero Marvel terdiri dari Iron Man, Thor, Captain America, Hawkeye dan Black Widow, untuk menyelamatkan dunia.

Cerita dimulai ketika Nick Fury mendatangi sebuah fasilitas S.H.I.E.L.D , dimana sumber energi potensial yang masih misterius kekuatannya, Tesseract, sedang diteliti. Tesseract membuka portal  luar angkasa yang membawa Loki (Tom Hiddleston) masuk.

Lalu Loki mencuri Tesseract dan menggunakan kemampuannya mempengaruhi pikiran untuk membawa beberapa personal S.H.I.E.L.D  yaitu Dr. Erick Selvig dan agen Clint Barton (Jeremy Renner), untuk membantunya membuka portal guna membawa masuk para pasukan menaklukkan bumi.

Fury mengirim Black Widow a.k.a agen Natasha Romanoff ke India untuk menjemput Dr. Bruce Jenner, sementara agen Phil Coulson menemui Tony Stark untuk menindaklanjuti penelitian Dr. Selvigs. Fury sendiri mendatangi Steve Rogers untuk meyakinkan sang Captain America membantunya merebut kembali Tesseract dari Loki.

Loki bekerjasama dengan Chitauri, makhluk ruang angkasa yang terkenal sebagai bangsa penjajah di seputar galaksi, dengan perjanjian jika Loki dibantu untuk mendapatkan Tesseract, maka Loki membantunya untuk membuka portal agar para pasukan Chitauri bisa masuk menginvasi bumi.

Loki sendiri memiliki misi pribadi. Ia adalah adik angkat dewa petir Thor karena telah diadopsi oleh ayah Thor, Dewa Odin, sejak bayi. Namun  Loki tumbuh besar sebagai pribadi yang suka mengacau, penuh tipu muslihat, dan selalu merasa hidup di bawah bayang-bayang kehebatan sang kakak.

Konflik kakak adik, dan adu taktik untuk merebut Tesseract menjadi alur utama film ini.  Yang lebih berbahaya Loki mampu mengacaukan pikiran dan membuat antar anggota The Avengers saling curiga dan berseteru.

Ini yang menjadi salah satu daya tarik film. The Avengers memang orang-orang super dibandingkan manusia umumnya, namun mereka tetap manusia biasa. Sebagai contoh terlihat karakter Captain America atau Steve Rogers yang lurus memang pantas menjadikannya pemimpin tegas tetapi dalam beberapa hal menjadi terlalu kaku.
Kekuatan super Captain America akan beradu imbang dengan Iron Man yang memiliki kuasa pada kecanggihan alat dipadu kecerdasan berpikir.

Kekuatan cerita memang menjadi salah satu kelebihan film berdurasi 2 jam 22 menit ini, serta menonjolkan karakter superhero yang mungkin sebagian besar sudah terasa akrab bagi  penikmat komik Marvel.
Selain itu nikmati pula dialog-dialog cerdas dan kejadian mengundang tawa dalam film ini. Sebagai contoh:
“But he’s a god!” kata Natasha Romanoff (tentang Loki dan Thor)
Steve Rogers menyahut, “Ma’am, there’s only one God, and I’m pretty sure he doesn’t look like that”.

Sehingga saya memberi nilai 8,5 dalam rentang 1-10 untuk kelayakan film ini sebagai hiburan di bioskop selama Mei ini.  Akting Robert Downey Jr. sebagai pengusaha Tony Stark atau Iron Man masih tetap menjadi magnet utama film ini, dibarengi oleh ketampanan Chris Evans sebagai Captain America (Chris Evans sebelumnya sukses sebagai si manusia api Johnny Storm dalam Fantastic Four) dan Mark Ruffalo yang berhasil menghidupkan Bruce Banner yang lugu dibalik sosok Hulk.  


Great Expectations


Pemain: Ethan Hawke, Gwyneth Paltrow, Robert De Niro, Anne Bancroft, dan Hank Azaria

Sutradara: Alfonso Cuaron

Waktu: 112 menit

(1998)


Sejak usia delapan tahun, Finnegan Bell (dewasa diperankan oleh Ethan Hawke) tinggal bersama kakak perempuannya, Maggie, dan kekasih Maggie yang biasa dipanggil “Paman Joe”.

Namun pada suatu malam, Maggie kabur bersama pria lain dan sejak saat itu Paman Joe mengasuh Finn Bell hingga dia dewasa.

Finn mengalami pengalaman tak terlupakan di masa kecil. Suatu hari pria cilik penggemar melukis itu bertemu dengan tahanan yang kabur dari penjara, Lustig (Robert de Niro). Di bawa ancaman, Finn memberinya makanan dan perkakas untuk melepaskan rantai yang membelenggu kaki Lustig. Peristiwa ini membangun ikatan emosi diantara mereka berdua di masa depan.

Selain itu pengalaman masa kecil yang membekas di ingatan Finn adalah kenangannya terhadap si cantik Estella dan bibinya Ms. Nora Dinsmoor (Anne Bancroft), wanita kaya yang eksentrik karena memiliki gangguan jiwa akibat ditingal kekasihnya begitu saja di depan altar.

Film yang dirilis pada 1998 merupakan cerita yang diadaptasi dari sastra klasik karya Charles Dickens dengan judul sama. Namun di tangan Alfonso Cuaron, Great Expectations berubah dari setting klasik abad ke-19 menjadi sebuah kisah cinta versi modern, dengan setting New York dan Florida, bercita rasa latino dan diiringi 20 lagu menawan, enam diantaranya merupakan lagu sama ”Besame Mucho” yang berbeda versi.

Finn besar berhasil mewujudkan impiannya meraih kesuksesan sebagai pelukis terkenal di New York, bertemu kembali dengan Estella (Gwyneth Paltrow). Namun cinta yang tumbuh diantara keduanya ini kemudian berbalut duka karena disisipi dendam membara Ms. Dinsmoor.

Selain itu, sepanjang film ini juga memiliki tone warna yang selaras. Dominasi hijau dan berubah serba kelam seperti baju hitam saat Estella mengajak bertemu Finn di jembatan dan menyatakan dirinya untuk menikah dengan Walter Plane (Hank Azaria). warna berubah kelam ketika Estella-FInn bakal berpisah, ketika Estella menyatakan Walter melamarnya.

Meski memang agak aneh mengapa Estella yang modern dan hidup di abad ke-20, mempunyai pendidikan layak, namun tiada punya sikap pasti dalam urusan asmara.  Kegalauan yang dialami karena mengikuti sikap eksentrik sang tante yang jelas-jelas secara psikologis disakiti oleh urusan cinta. Estella ternyata menunggu Finn mengajaknya berdansa. Meski sebenarnya bahwa dansa dalam hal ini adalah sebuah kiasan untuk arti yang lain.

Masa lalu terkadang tidak lepas dari kehidupan manusia. Barangkali karena cinta tak kesudahan itu yang dimiliki, Finn berhasil mewujudkan hasrat di hatinya menjadi tak sekadar menjadi angan-angan belaka.

Namun siapa sesungguhnya dermawan yang mengirim Finn ke New York dan membiayai seluruh keperluannya mencapai jenjang sukses?




Sabtu, 21 April 2012

The Raid (Serangan Maut)


Pemain: Iko Uwais, Ray Sahetapy, Pierre Gruno
Sutradara: Gareth Huw Evans
Produser/Produksi : Ario Sagantoro/PT Merantau Films
Tayang di Indonesia : Maret 2012

Aksi martial art dalam gerakan cepat, tembak-tembakan, darah berceceran, dan film Indonesia. Ini menjadi benang merah yang dapat Saya simpulkan usai menonton film The Raid.

Ya. Film bergenre action di tanah air lumayan jarang. Dan kalaupun ada yang berniat membuatnya, mungkin bakal terjebak dalam kompromi pasar. Takut tidak laku maka akan memasang artis-artis cantik berbalut busana minim, slapstick atau jalan cerita serba kebetulan. 

Tapi The Raid jauh dari hal tersebut. Bahkan kalau dihitung jumlah perempuan yang hadir hanya dua orang,  masing-masing wanita muda tengah hamil besar dan ibu paruh baya tengah sakit-sakitan terbaring di ranjang.

Garis besar jalan cerita tentang misi sebuah pasukan khusus, sebut saja sebagai SWAT (Special Weapon and Tactics) yang di Amerika Serikat menjadi pasukan elit kepolisian dan telah dikenal istilahnya secara internasional, menyerbu blok apartemen tak terurus, tempat Tama (Ray Sahetapy) bandar  narkoba bersarang. Tempat tersebut dijaga ketat dan memiliki banyak penjahat yang siap bertempur habis-habisan untuk mempertahankan kenyamanan wilayahnya.

Terjebak di lantai 6 tanpa komunikasi dan diserang oleh penghuni apartemen yang diperintahkan oleh Tama, membuat tim SWAT  harus berjuang melewati setiap lantai agar bisa menyelesaikan misi dan bertahan hidup.
Di balik tugas menyelesaikan misi utama ini, terselip cerita pengkhianatan dan kebobrokan aparat yang sudah cukup familiar di dalam dunia nyata. Kongkalikong bos penjahat dengan aparat. Serta terselip pula reuni kakak-adik.  

Saat pasukan khusus menyerang, bak video game aksi yang mengharuskan setiap lantai dilewati dengan pertarungan hidup mati. Untuk berhasil keluar dari gedung apartemen, mereka harus mencapai lantai paling atas dan di setiap lantai menghadapi penjahat yang siap menghunuskan parang, golok, pisau, atau menggunakan senjata api laras pendek dan panjang. Jika Jaka dkk berhasil mencapai lantai paling atas berarti sekaligus menangkap gembong narkoba Tama.

Aksi laga di film ini memancing sejumlah pujian dari kritikus film luar negeri. Film ini juga berhasil menyabet penghargaan Midnight Madness di ajang Toronto International Film Festival 2011. Selain itu diputar di festival Sundance Film Festival, dan penggarapan musik untuk peredaran di Amerika Serikat  dibuat oleh Mike Shinoda dari Linkin Park.

Meskipun di berbagai ulasan disebutkan bahwa dasar aksi laga di dalam film ini berbasiskan pencak silat, namun saya pribadi awam terhadap gerakan olah pertahanan tubuh asli negeri sendiri ini, yang konon berasal dari suku bangsa Melayu nusantara. Selama ini indra penglihatan saya dimanjakan oleh aksi martial art ala film Hong Kong/Cina.  Jadi saya asumsikan gerakan bela diri yang khas Indonesia itu, terlihat melalui kuda-kuda atau menapakkan kaki untuk memperkokoh posisi tubuh, teknik pukulan tangan yang cepat dan jarka dekat dalam tarung antara dua orang, atau teknik mengunci lawan supaya tidak berdaya.  

Film yang ditetapkan label D (Dewasa) memang tepat adanya karena aksi sadis yang kadang mencekam, berdarah-darah, dan kata “Anjing” yang bertabur di sepanjang film.  Namun tepat jika kita ucapkan salut atas ide ceritanya. 

Selasa, 11 Oktober 2011

Season of the Witch

Pemain: Nicolas Cage, Ron Perlman, Stephen Campbell Moore, Claire Foy, Christopher Lee
Sutradara: Dominic Sena
Skenario: Bragi F. Schut
Waktu: 109 menit
(2011)



Behmen of Blabrik (Nicolas Cage) dan Felson (Ron Perlman)  adalah dua sahabat prajurit desertir dari perang Salib. Dan dalam pengembaraan selama sebulan mereka ‘terdampar’ di Smyrna. Ternyata telah terjadi wabah sampar selama 3 bulan termasuk menimpa Kardinal setempat.

Seorang wanita yang tidak diketahui namanya dituduh sebagai penyihir dan menimbulkan wabah ini sejak dia datang ke kota. Wanita itu harus dibawa ke Abby of Severak. Disana wanita itu akan menjalani prosesi pengadilan. Pengadilannya pun bukan oleh hakim, jaksa sebagaimana umumnya, tapi dengan menjalani semacam prosesi doa atau penyucian jiwa dengan membaca Book of Solomon untuk membuktikan dirinya penyihir atau bukan.

Kitab Solomon adalah buku yang digunakan dalam ritual pembuktian penyihir atau pembasmian orang yang kerasukan setan (exorcism).

Behmen dan Felson pun diminta Cardinal D’Ambroise untuk melakukan perjalanan ke Severak. Dalam perjalanan mereka ditemani oleh ksatria Eckhart, pendeta Debelzaq dan orang hukuman Hagamar sebagai penunjuk jalan. Anak altar, Kay, yang bermimpi menjadi ksatria kemudian ikut bergabung.

Perjalanan memakan waktu 6 hari, dapat dikurangi setengahnya jika melintasi Hutan Wormwood. Namun hutan angker itu punya cerita tentang orang-orang yang masuk ke dalam hutan dan tidak pernah kembali.

Untuk mencapai destinasi, mereka mengalami petualangan yang tidak bisa diterima akal. Sosok wanita tertuduh sebagai penyihir yang belakangan diketahui bernama Anna pun membuat orang terombang-ambing dalam rasa iba, tidak percaya atau malah memang setan.

Film ini bergaya horror dengan balutan sejarah. Latar cerita terjadi pada abad ke-14 ketika belahan Eropa percaya adanya wanita-wanita tukang tekung atau penyihir. Cara masyarakat menghukum seorang wanita yang dituduh sebagai penyihir menjadi pembuka film. Bertempat di kota Villach pada tahun 1235 setelah Masehi, tiga wanita akan dihukum dengan dililit tali dan dijatuhkan ke bawah jembatan. Badannya terbenam di air sungai yang mengalir di bawah jembatan.

Tak berhenti sampai disitu, kemudian tubuh wanita yang dihukum tadi harus ditarik kembali ke permukaan untuk dilakukan ritual doa dengan menggunakan kitab Solomon (Book of Solomon).

Ternyata setan turun ke bumi untuk menyingkirkan buku kitab tersebut agar bisa menguasai bumi dan meliputinya dengan kegelapan.

Jalan cerita mengalir rapi, dan memasukkan unsur sejarah. Perang Salib yang berlarut-larut, yang terjadi antara 1095-1291, memunculkan problem ekonomi, penyakit dan pertentangan batin. Antara kebenaran agama versus kenyataannya kebanyakan korban adalah masyarakat tak berdosa, termasuk wanita dan anak-anak.

Hanya saja kesalahan fatal film ini adalah geografi. Seperti dikutip dari situs IMDb, seperti Coast of Styria yang kini masuk dalam wilayah Austria tidak memiliki garis pantai. Demikian pula jika maksudnya Styria di Inggris. Lalu ajang pertempuran di Gulf of Edremit berada di sebelah barat bagian utara Anatolia (West-Northern Anatolia) bukan padang pasir tapi justru kaya tumbuhan hijau.

Kesimpulannya, tidak perlu jadikan film ini rujukan sejarah. Nikmati saja filmnya J
Film ini bisa masuk ke dalam horror exorcism atau kemasukan setan, dimana efek visual tampil rapi.


Minggu, 09 Oktober 2011

Monte Carlo

Pemain: Selena Gomez, Leighton Meester, Katie Cassidy
Sutradara: Thomas Bezucha
Skenario: Thomas Bezucha, April Blair
(2011)


Ringan, dangkal, tapi cukup menghibur. Ini komentar yang bisa dikatakan usai menonton Monte Carlo.

Tokoh sentral film ini adalah gadis 18 tahun asal Texas AS, Grace Bennett (diperankan oleh Selena Gomez) yang punya impian melakukan perjalanan ke Paris. Untuk merealisasikan mimpinya, dia bekerja sebagai part-timer di restoran dan menabungkan tips yang ia peroleh ke dalam toples kaca bertuliskan, “Grace’s Fund for Paris”.

Mimpi ini menjadi kenyataan ketika dia memperoleh hadiah kelulusan dari ayahnya (Brett Cullen). Bahkan sang ayah membayari perjalanan bertiga, yaitu kakak tirinya Mary Margaret “Meg” Kelly-Bennet dan Emma Perkins (Katie Cassidy).

Emma teman kerja Grace di kafe, tapi sekaligus rekan satu sekolah sang kakak tiri, Meg. Bedanya Meg melanjutkan sekolah sedangkan Emma siswa DO demi mengejar karir sebagai model (meski gagal). Bisa ditebak perjalanan ini menjadi ‘panas dingin’ karena ketidakakuran saudara tiri dan mantan teman satu sekolah.

Lalu tidak sengaja mereka ketinggalan bis rombongan saat berhenti di Menara Eiffel. Pengejaran bis yang sia-sia, tersesat, menghindari hujan lebat, membuat mereka masuk ke dalam hotel mewah.

Tidak disangka di dalam hotel mewah itu ada Cordelia Winthrop-Scott (diperankan juga oleh Selena Gomez) putri pewaris kaya asal Inggris yang harus terbang ke Monte Carlo demi acara amal.

Kemiripan wajah Grace dengan Cordelia, menimbulkan kesalahpahaman petugas hotel. Lalu upaya menghindari paparazzi membuat mereka masuk ke mobil mewah yang mengantarkan mereka ke bandara dimana jet pribadi siap menerbangkan mereka ke ibukota Monako itu.

Selama beberapa hari hingga menuju puncak acara lelang amal yang berlangsung Jumat, mereka harus menutupi rahasia, terutama menghindari sikap awas dari Tante Alicia yang juga hadir dalam perhelatan. Ketika ketahuan, tante itu malah mengira Cordelia menyewa wanita berwajah mirip agar dirinya bebas berpesta.

Adapula selipan kisah cinta antara Grace dengan Theo yang diperankan aktor remaja asal Perancis, Pierre Boulanger, pembuktian cinta sejati antara Emma dan pacar Texas-nya, Owen, dan penemuan cinta antara Meg dan Riley.

Ide film ini berdasarkan novel berjudul Headhunters karya Jules Bass. Dalam cerita novel mengangkat kisah empat wanita tengah baya asal Texas yang bergaya seperti wanita kaya pewaris harta untuk mendapatkan suami potensial di Monte Carlo. Di ibukota Monako itu, mereka bertemu empat gigolo yang berpura-pura sebagai playboy kaya.

Namun saat diangkat ke layar lebar, tokoh-tokoh kemudian dibuat lebih muda.

Syuting berlokasi di Budapest (Hungaria), Paris (Perancis) dan Monako. Namun sayang sepertinya penonton tidak menangkap greget keindahan kota-kota Eropa. Hanya sejumlah scene cepat dari satu lokasi berpindah ke lokasi lain. Apalagi berharap jelajah mata terpuaskan karena menikmati keindahan Monte Carlo yang menginspirasi judul film.

Film ini pun tidak menjanjikan kondisi seperti Sex n the City dengan parade busana cantik membalut para tokoh sentral. Gaya Cordelia yang ‘tua’ malah sepertinya tidak pas dengan pencitraan posisi heiress yang doyan pesta dan berbalut gosip skandal. Selena Gomez kepayahan membentuk citra Cordelia yang jadinya tua, aksen bahasa yang aneh sekaligus wajah ga jelas bak tokoh antagonis dalam sinetron Indonesia.

Konflik antara kakak-adik masih jauh lebih menarik menonton “From Prada to Nada” atau “In Her Shoe”.

Di bagian akhir film berdurasi 109 menit terjadi kelanjutan kisah cinta masing-masing gadis ini. Grace menjadi sukarelawan di Rumania dan bertemu kembali dengan Theo. Emma bertunangan dengan Owen. Dan Meg mencapai puncak Machu Picchu bersama Riley. Ia menjadi lebih lepas, tidak penuh pertimbangan dan kaku.
She’s allready 20 (over 18) and responsible by herself. Tapi ini film remaja dan menyodorkan ide liburan berbulan-bulan, lintas negara, dengan pacar yang belum resmi menikah? Hmmm…. Kenapa agak mengganjal di hati ini?

Lagu-lagu soundtrack juga cukup up-beat enak di kuping, termasuk “Who Says” yang dinyanyikan Selena Gomez. Liriknya mengajak kita menjadi diri sendiri.

Secara keseluruhan film ini masih layak tonton, terutama di saat Anda ingin menghabiskan liburan akhir pekan membuang penat. Karena film ini memenuhi kebutuhan dasar hasil dari menonton film: cukup menghibur dan ringan. 


Sabtu, 16 Juli 2011

Insidious

Pemain: Rose Byrne, Patrick Wilson, Ty Simpkins
Sutradara: James Wan
Penulis Skenario: Leigh Whannell
Waktu: 103 menit
(2010)




Renai dan Josh Lambert (Rose Byrne dan Patrick Wilson), beserta ketiga anak mereka, pindah ke rumah yang baru. Tentu harapan akan kehidupan normal dan bahagia bakal menyertai.

Namun masalah bermula ketika suatu malam Dalton (Ty Simpkins – pemeran di film “The Next Three Days”) naik ke loteng karena pintunya terbuka. Lalu dia mencoba menggapai penyala lampu. Malang tangga yang dia tapaki patah, lalu Dalton jatuh dan menjerit kencang. Ayah dan ibunya yang sedang berkumpul bersama langsung mengejar arah teriakan.

Renai dan Josh mendapati Dalton sedang duduk menatap pojokan  dengan sedikit luka memar di kening. Sepertinya tidak ada masalah, Dalton pun ditinggalkan di kamar tidur.

Alangkah terkejut ketika esok harinya Dalton tidak bangun saat waktunya berangkat sekolah. Segera dibawa ke rumah sakit dan diagnosa dokter Dalton mengalami koma, meskipun tidak terjadi kerusakan serius pada otak maupun fisik, dan dokter  mengatakan anak tertua mereka ini akan segera bangun dalam beberapa hari, namun kenyataannya tiga bulan berlalu dan Dalton sekarang dirawat di rumahnya, masih terbaring tak sadarkan diri.

Kepulangan Dalton ini kemudian diikuti sejumlah kejadian supranatural yang mengganggu keluarga Lambert.

Pertama, Foster merasa Dalton berada di koridor tengah malam. Lalu, Renai merasa ada orang lain berjalan di dalam rumah, keanehan ketiga ketika menemukan cetakan telapak tangan bernoda darah membentuk cakar ditemukan di seprei, dan Renai diserang oleh pria di tengah malam membuat keluarga ini pindah rumah.
 
Film ini berhasil menciptakan ketakutan baik mata maupun telinga penonton. Bukan jenis slasher yang sering menghadirkan tokoh psikopat siap membunuh korban dengan keji.

Duo James Wan dan Leigh Whannell yang pernah bekerja sama dalam “SAW”, kali ini kembali berduet tanpa horor yang penuh ceceran darah, tetapi menantang penonton untuk berani membuka mata atau terpacu degup jantung karena kehadiran makhluk halus yang seram.  

Adegan pembukanya mengagetkan karena kehadiran sosok menyeramkan. Jalan cerita di awal masih menarik. Cerita berlatar pindah rumah dan ternyata rumah barunya ada ‘isi’ selalu menjadi racikan menarik untuk penyuka film horror. Hanya saja separuh film kemudian terasa basi, membosankan malah konyol.

Kehadiran kelompok cenayang yang mengingatkan penulis pada film ghostbuster, lalu paranormal yang menjelaskan bahwa jiwa Dalton mengembara tanpa tahu jalan pulang atau disebut The Further. Selama badan ‘kosong’ jiwanya berpotensi dimasuki roh/setan.

Memang yang harus diingat bahwa film horror Hollywood berbeda dengan film setan Indonesia. Masyarakat kita sudah terbiasa dengan tokoh hantu seperti kuntilanak, pocong, dan suster ngesot yang tinggal diolah untuk menjadi suatu cerita. Lihat saja judul-judul film layar lebar Indonesia yang belakangan ini muncul di bioskop, selalu menggunakan salah satu subyek tersebut lalu ditambahkan kata-kata lain yang bertujuan memancing rasa penasaran orang.

Sebaliknya film Hollywood selalu membutuhkan logika dalam kehadiran hantu dan cara memusnahkannya. Namun terasa tertatih dan akhirnya tujuannya cuma ‘memanjakan’ mata penonton untuk kaget dengan penampakan yang menyeramkan.

Termasuk juga Joseph Bishara berhasil menghadirkan musik yang bisa begitu pas bersama adegan demi adegan horor di film ini, membangun kengerian penonton. Meskipun ada embel-embel track record James Wan sebelumnya menggarap “SAW” dan “Paranormal Activity” tapi maaf, akhirnya, saya cuma memberi nilai 6 dari 10 untuk film Insidious secara keseluruhan. 



Let Me In

Pemain: Kodi Smit-McPhee, Chloe Moretz, Richard Jenkins
Sutradara: Matt Reeves
Penulis Skenario: Matt Reeves & John Ajvide Lindqvist
Waktu: 109 menit
(2010)


Di suatu malam hujan salju, di kota kecil New Mexico Amerika Serikat, sebuah ambulans bergerak secepat kilat menuju rumah sakit. Di dalam mobil petugas paramedis berusaha menyelamatkan seorang pasien yang terluka parah. Seluruh wajahnya rusak seperti terbakar.

Usaha penyelamatan berakhir tragis. Pasien bunuh diri dengan cara menjatuhkan diri dari jendela kamar perawatannya di lantai atas.

Frame film lalu berpindah pada malam hari dua minggu sebelumnya. Makan malam yang tegang antara ibu berambut pirang dan putranya. Ibu yang tengah dilanda depresi sementara anak tumbuh bermain sendirian. Anak beringsut ke kamarnya, meneropong kegiatan tetangga sekeliling dan perhatian terfokus ketika sebuah mobil berhenti. Seorang pria paruh baya dan putri perempuan belasan tahun keluar dari mobil dan datang menghuni unit kosong bangunan di tengah malam.  

Persahabatan kemudian terjalin antara anak laki-laki bernama Owen (Kodi Smit-McPhee) dengan si anak perempuan yang kemudian diketahui bernama Abby (Chloe Moretz) sesama berusia 12 tahun. Praktis Owen yang penyendiri dan korban bullying di sekolah menjadi akrab dengan Abby yang juga terasing.

Abby hanya muncul di tengah malam. Bertemu dan ngobrol dengan Owen di taman bermain di area rumah mereka.

Ternyata Abby di malam hari menjadi vampir dan harus minum darah manusia. Dan kondisi berubah ketika “ayah” menghilang dan Abby mencari sendiri mangsanya. Muncul pula polisi (Elias Koteas) yang menyelidiki kasus penemuan mayat bersimbah darah sebagai kemungkinan dilakukan oleh kelompok pemuja setan.

Film genre horor ini mengalir dengan gampang dicerna, tidak memusingkan penonton dengan jalan cerita yang membuat orang harus menebak-nebak. Eksplorasi cerita tentang makhluk penghisap darah memang seolah tidak habis-habis, dan kali ini dalam wujud anak perempuan cantik berwajah inosens. Lalu kita kaget ketika pada satu scene tampil wajah Abby yang lain. Sebagai makhluk penghisap darah. Sepintas wujud vampirnya mengingatkan kita pada bentuk Smeagol di film The Lord of the Rings, namun jelas lebih seram yang ini.

Selain itu film bukan pada efek menegangkan saja, tapi bangunan cerita yang kuat tentang kisah cinta dua anak beranjak remaja, dan Abby seperti umumnya gadis remaja yang hati-hati membuka jarak pada lawan jenis. Meskipun ternyata usianya sebagai vampir ratusan tahun.

Menurutku film ini bisa diberi nilai 7,5 dari total 10 untuk menjadi sebuah film horor pilihan.

Chloe Moretz pernah muncul sebagai anak terkecil dari keluarga Lutz yang tinggal di rumah berhantu dalam film The Amityville Horror (2005). Sedangkan Kodi Smit-McPhee  muncul dalam The Road (2009) menjadi karakter anak dari Viggo Mortensen yang kita kenal sebagai Aragorn di film The Lord of the Rings.

Cerita film ini diadaptasi dari novel berjudul “Let the Right One In” karya penulis Swedia dan sebelumnya sudah difilmkan di Swedia pada 2008.